Kamis, 19 September 2013

Komunikasi dan Budaya

High and Low Context Culture Communication

Raymond Gozzi, Jr. (1992) dari Bradley University dalam karyanya yang berjudul ‘Mass Media Effect in High and Low Context Cultures’ mencoba mengupas tentang ‘context’ dalam konsep komunikasi, dengan mengelaborasi pendapat seorang antropolog yang bernama Edward T. Hall sbb:

Edward T. Hall (1977), berhasil menemukan dan mengemukakan adanya gaya komunikasi (styles of communication) yang dimiliki dan ditunjukkan bangsa-bangsa di dunia. Mereka bangsa-bangsa, berdasarkan temuan Edward T. Hall sesungguhnya telah memiliki gaya komunikasi (styles of communication) masing-masing yang sungguh sangat menakjudkan.

Dalam risetnya, Edward T. Hall menemukan adanya gaya komunikasi (styles of communication) dalam budaya mereka, yakni Budaya Komunikasi Konteks Tinggi (High Context Culture Communication) dan Budaya Komunikasi Konteks Rendah (Low Context Culture Communication).

Amerika Serikat (White, Anglo-Saxon, Protestant) dan negara-negara Eropa (Seperti German dan Skandinavia) memiliki Budaya Komunikasi Konteks Rendah (low context culture communication). Negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, China, dan Indian Amerika, memiliki Budaya Komunikasi Konteks Tinggi (high context culture communication). Hanya bangsa Jepang yang satu-satunya bangsa di dunia ini yang memiliki  Budaya Komunikasi Konteks Rendah, sekaligus memiliki Budaya Komunikasi Konteks Tinggi. Orang Jepang, jika berkomunikasi dengan orang asing, mereka menggunakan Komunikasi Konteks Rendah, tetapi jika berkomunikasi dengan keluarganya, mereka menggunakan Komunikasi Konteks Tinggi.

Budaya Komunikasi Konteks Tinggi                                          

High Context Culture Communication 

Ciri-ciri Komunikasi Konteks Tinggi sbb: Typically short, pithy, and poetic (ciri komunikasinya yang singkat, penuh arti, dan puitis). Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di dalam kelompoknya sendiri (in group), tidak untuk kelompok luar (outsiders).

Misalnya, orang Indonesia begitu sulit untuk mengatakan tidak secara langsung kepada lawan bicara sesama orang Indonesia. Penuh pertimbangan untuk mengucapkan kata tidak. Mereka umumnya sangat sungguh-sungguh mempertimbangkan situasi saat berkomunikasi. Inilah yang dimaksudkan oleh Raymond Gozzi, Jr. sebagai konteks (‘context is environment, that which surrounds something and helps give it meaning’). Selanjutnya, Edward T. Hall dalam catatannya ‘that the context surrounding any message may be relatively dense, or relatively sparse, with consequences for the style of communication’. Sulitnya untuk mengatakan tidak, bagi orang Indonesia bukan sekedar basa-basi, situasi demikian benar-benar ada apa adanya (reality) di lingkungan kita sehari-hari, yang oleh Edward T. Hall dikatakan ‘places cultures along a continuum’ (bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih diam daripada mengucapkan kata tidak secara langsung.
Pertanyaan : apakah memilih diam itu budaya ?  

Edward T. Hall menyebutkan bahwa memilih diam itu ada dalam budaya mereka, Budaya Komunikasi Konteks Tinggi. Jika mereka harus memilih bicara, mereka cenderung ‘change to subject’. Misalnya, pa Dadang dan pa Asep bertempat tinggal satu RT, mereka tinggal di Kota Bandung. pa Dadang merasa perlu mengundang pa Asep dalam acara syukur bin nikmat di rumahnya. Kemudian pa Dadang bersilahturahmi ke rumah pa Asep untuk maksud mengundang acara di rumahnya hari selasa. Hubungan mereka cukup dekat satu sama lainnya. Pada hari selasa waktu yang sama, sesungguhnya pa Asep punya rencana ingin berkunjung ke rumah ibu mertuanya di Sumedang. Pa Dadang dan pa Asep berkomunikasi cukup hangat, karena akhir-akhir ini mereka jarang bertemu. Gerak-gerik (gestur) pa Asep dengan bahasa tubuhnya tampak kebingungan, sepertinya ia sulit mengatakan tidak bisa. Pa Asep berjuang keras untuk mengatakan tidak bisa, apalagi menolaknya. Pa Asep sesungguhnya juga ingin memenuhi undangan pa Dadang, tetangganya satu RT itu. Wal hasil sampai pa Dadang permisi pulang dengan suasana yang tetap hangat, pa Asep tidak mengucapkan kata-kata tidak bisa. Sulit bagi pa Asep untuk mengatakan itu. Inilah yang oleh Edward T. Hall dikatakan sebagai Budaya Komunikasi Konteks Tinggi yang memiliki ciri-ciri ‘pithy and poetic’ (penuh makna sulit diartikan, mengalun, melebar, menghibur, menjaga harmoni). Itulah yang dinamakan Budaya Komunikasi Konteks Tinggi.           

Pertanyaan : Selanjutnya, bagaimana pa Asep mengambil keputusan ?  

Pada hari selasa pa Asep memutuskan pergi ke Sumedang, keputusan itu diambil setelah berkomunikasi dengan istri dan keluarganya. Disini pa Asep memilih untuk mengikuti keputusan kolektif yang datang dari istri dan keluarganya, dibandingkan dari dirinya sendiri.

Pertanyaan : Bagaimana dengan undangan pa Dadang ?

Sebelum pergi ke Sumedang, pa Asep dan keluarganya singgah ke rumah pa Dadang untuk ‘excuse’ tidak bisa menghadiri undangan, karena harus pergi ke Sumedang. Pa Asep merasa lebih nyaman untuk mengatakan tidak bisa secara kolektif bersama keluarganya, dibandingkan mengatakan tidak bisa secara sendiri. Tindakan pa Asep inilah yang oleh Edward T. Hall dinamakan ‘not being on time for appointments’ (tidak menepati janji). Kejadian seperti ini bagi orang Indonesia, sudah biasa bukan sesuatu yang luar biasa.

Akan tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakan Komunikasi Konteks Rendah (low context Communication) pasti akan menganggap sebagai kejadian yang luar biasa, tak terpuji dan membuatnya frustasi, terheran-heran, tidak masuk akal, mungkin bisa marah dan anda bisa  ditegur. 

Closed System  selalu sering dihubungkan dengan  sistem masyarakat tertutup, yakni suatu sistem sosial yang mempercayai bahwa pandangannya (way of life) tidak dapat diubah oleh kelompok luar (Out-group). Disini peran kolektif cukup tampak menonjol, dibandingkan individu. Suatu Kelompok Sosial merupakan in-group atau bukan, tergantung situasi sosial. Sikap yang ada yang dimiliki oleh in-group pada umumnya didasarkan pada simpati. Selalu memiliki perasaan dekat dengan anggota kelompoknya. Budaya komunikasi konteks tinggi ditemukan dalam sistem sosial tertutup (closed system), seperti sistem sosial masyarakat Indonesia.     

Polychronic time, yakni lawan dari monochronic time sbb: Kurang bisa menghargai waktu, sering tidak tepat waktu kalau memberikan janji, dan kurang memiliki disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan atau yang sering kita dengar dengan istilah suka ngaret.   


Budaya Komunikasi Konteks Rendah

Low Context Culture Communication      

Ciri-ciri Komunikasi Konteks Rendah sbb: Must be longer, more elaborated, and explicit (ciri komunikasinya bisa menggambarkan atau bisa juga menjelaskan hingga cukup tampak rinci dan panjang, dan saat itu juga disampaikan secara eksplisit).

Misalnya, mereka pasangan suami-istri sedang istirahat tidur di malam hari dan tidurnya tampak nyeyak. Tiba-tiba hujan deras sekali, sampai-sampai istrinya terbangun dan langsung membangunkan suaminya sambil spontan berkata ‘bocor-bocor’. Suaminya terbangun dan menjawab langsung, genting yang retak sudah ditambal dan diberi cat pelapis yang berkualitas, yang memiliki kemampuan ganda, tidak seperti cat lainnya. Sebaiknya kita tidur lagi, tak perlu khawatir ‘bocor’, cat pelapisnya berkualitas tinggi dan dijamin tak tertembus air. Inilah yang oleh Edward T. Hall berkomunikasi konteks rendah, ‘must be longer, more elaborated, and explicit’.

Bisa anda bayangkan, jika sang suami mengatakan ‘masa sich bocor, bukannya sudah di cat’. Disini tampak bahwa sang suami tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, atau yang oleh Edward T. Hall kata-kata itu memiliki ciri ‘typically short’.           

Open System yang selalu dikaitkan dengan sistem masyarakat terbuka, yakni suatu sistem sosial masyarakat dimana mereka mau menerima ide-ide baru.  Disini individu dalam masyarakat memiliki peran yang cukup menonjol, dibandingkan peran kolektif. Budaya Komunikasi Konteks Rendah hidup di dalam sistem sosial masyarkat yang terbuka.

Monochronic time is one thing at a time, being on time for appointments, and getting the job done by a deadline (sesuatu itu satu sesuai apa yang dipikiran saat itu, tepat waktu kalau janji, dan menghargai waktu kerja yang  dijanjikan).

Komunikasi Konteks Rendah  Versus  Komunikasi Konteks Tinggi

Raymond Gozzi, Jr. (1992) mencoba mengupas studi Edward T. Hall dengan mempertanyakan sbb:  Bagaimana efek yang ditimbulkan, jika sumber menggunakan Komunikasi Konteks Rendah dalam menyampaikan pesan, sementara Si penerima menggunakan Komunikasi Konteks Tinggi ?

Kajian studi Raymond Gozzi, Jr. hasilnya sungguh menakjudkan: ‘Komunikasi Konteks Rendah mempengaruhi Komunikasi Konteks Tinggi’, sebaliknya: ‘Komunikasi Konteks Tinggi tidak mempengaruhi Komunikasi Konteks Rendah’.

Hal ini bisa diilustrasikan sbb: Jika orang asing seperti Amerika berkomunikasi dengan orang Indonesia, dalam bahasa Indonesia. Pesan-pesan apa saja yang dikomunikasikannya akan mudah dimengerti. Sebaliknya, jika orang Indonesia berkomunikasi dengan orang Amerika, dalam bahasa Inggris. Pesan-pesan apa saja yang dikomunikasikannya tidak mudah dimengerti.

Kajian studi  Raymond Gozzi, Jr. banyak dikembangkan dalam Studi Media Massa, khususnya efek pesan Media. Media harus memiliki ‘konteks’ yang lebih rendah dari pemirsanya, jika tidak akan ditinggalkan.

Studi komunikasi tentang ‘konteks tinggi dan konteks rendah’ cukup menarik perhatian. Komunikasi Konteks Tinggi tidak selalu di dekati melalui budayanya, demikian juga dengan Komunikasi Konteks Rendah.

Misalnya, sama-sama orang Sunda, tidak menutup kemungkinan memiliki perbedaan ‘konteks’ satu sama lainnya, ada yang konteks rendah dan ada yang konteks tinggi, tetapi perbedaan itu tidak memiliki ekses budaya yang extrem, yang dimungkinkan muncul adalah ekses situasi. Orang akan merasa nyaman dalam berkomunikasi, jika menggunakan ‘konteks’ yang tidak jauh beda satu sama lainnya, walau terkadang  perbedaan ‘konteks’ itu diinginkan dalam komunikasi manusia.

Misalnya, hampir setiap mahasiswi menghendaki teman kencan laki-lakinya ‘lebih pintar’ darinya. Konon ceritanya, tidak ada seorangpun mahasiswi yang menginginkan teman kencan laki-lakinya itu ‘lebih bodoh’. Pelabelan (labelling) kata ‘pintar dan bodoh’ ini jika kita perhatikan dan amati lebih cermat lagi, sesungguhnya tidak memiliki kaitan dengan hal IQ. Belum pernah ada satupun pengakuan dari seorang mahasiswi yang menghendaki teman kencan laki-lakinya itu memiliki IQ lebih tinggi darinya. Pelabelan kata ‘pintar dan bodoh’ ini sesungguhnya berkaitan dengan Gaya Komunikasi (style of communication). Mahasiswi itu sesungguhnya (jika kita amati dari beyond the statement, ‘pintar dan bodoh’) menghendaki teman kencan laki-lakinya memiliki kemampuan dalam berkomunikasi konteks rendah (low context communication), bukan IQ yang tinggi atau IPK yang bagus. Walaupun terkadang mahasiswi juga menyukai komunikasi konteks tinggi, tetapi tidak kental. Jika seorang mahasiswa menggunakan komunikasi konteks rendah, maka mereka itu biasanya terakui di lingkungannya. Jika seorang mahasiswa tidak mampu menunjukkan bahwa ia bisa berkomunikasi konteks rendah, maka mereka itu biasanya terkecilkan di lingkungannya, apalagi dimata mahasiswi. Wanita kurang tertarik dan kurang menghargai pada laki-laki yang tidak mampu berkomunikasi konteks rendah (low context communication), bisa-bisa mereka itu dianggap anak kecil dan belum dewasa.


Oleh : Prijana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar