High and Low Context Culture Communication
Raymond
Gozzi, Jr. (1992) dari Bradley University dalam karyanya yang berjudul ‘Mass Media Effect in High and Low Context
Cultures’ mencoba mengupas tentang ‘context’
dalam konsep komunikasi, dengan mengelaborasi pendapat seorang antropolog yang
bernama Edward T. Hall sbb:
Edward T.
Hall (1977), berhasil menemukan dan mengemukakan adanya gaya komunikasi (styles of communication) yang dimiliki
dan ditunjukkan bangsa-bangsa di dunia. Mereka bangsa-bangsa, berdasarkan
temuan Edward T. Hall sesungguhnya telah memiliki gaya komunikasi (styles of communication) masing-masing
yang sungguh sangat menakjudkan.
Dalam
risetnya, Edward T. Hall menemukan adanya gaya komunikasi (styles of communication) dalam budaya mereka, yakni Budaya Komunikasi
Konteks Tinggi (High Context Culture
Communication) dan Budaya Komunikasi Konteks Rendah (Low Context Culture Communication).
Amerika
Serikat (White, Anglo-Saxon, Protestant)
dan negara-negara Eropa (Seperti German dan Skandinavia) memiliki Budaya
Komunikasi Konteks Rendah (low context
culture communication). Negara-negara dunia ketiga atau negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, China, dan Indian Amerika, memiliki Budaya
Komunikasi Konteks Tinggi (high context
culture communication). Hanya bangsa Jepang yang satu-satunya bangsa di
dunia ini yang memiliki Budaya Komunikasi Konteks Rendah, sekaligus
memiliki Budaya Komunikasi Konteks Tinggi. Orang Jepang, jika berkomunikasi
dengan orang asing, mereka menggunakan Komunikasi
Konteks Rendah, tetapi jika berkomunikasi dengan keluarganya, mereka
menggunakan Komunikasi Konteks Tinggi.
Budaya Komunikasi Konteks Tinggi
High Context Culture Communication
Ciri-ciri Komunikasi Konteks Tinggi sbb: Typically
short, pithy, and poetic (ciri komunikasinya yang singkat, penuh arti,
dan puitis). Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di
dalam kelompoknya sendiri (in group),
tidak untuk kelompok luar (outsiders).
Misalnya, orang Indonesia begitu sulit untuk
mengatakan tidak secara langsung kepada
lawan bicara sesama orang Indonesia. Penuh pertimbangan untuk mengucapkan kata tidak. Mereka umumnya sangat
sungguh-sungguh mempertimbangkan situasi saat
berkomunikasi. Inilah yang dimaksudkan oleh Raymond Gozzi, Jr. sebagai konteks (‘context is environment, that which
surrounds something and helps give it meaning’). Selanjutnya, Edward T.
Hall dalam catatannya ‘that the context
surrounding any message may be relatively dense, or relatively sparse, with
consequences for the style of communication’. Sulitnya untuk mengatakan tidak, bagi orang Indonesia bukan
sekedar basa-basi, situasi demikian benar-benar
ada apa adanya (reality) di
lingkungan kita sehari-hari, yang oleh Edward T. Hall dikatakan ‘places cultures along a continuum’
(bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih diam daripada mengucapkan kata tidak secara langsung.
Pertanyaan :
apakah memilih diam itu budaya ?
Edward T. Hall menyebutkan bahwa memilih diam itu ada dalam budaya mereka, Budaya Komunikasi Konteks
Tinggi. Jika mereka harus memilih bicara,
mereka cenderung ‘change to subject’. Misalnya,
pa Dadang dan pa Asep bertempat tinggal satu RT, mereka tinggal di Kota
Bandung. pa Dadang merasa perlu mengundang pa Asep dalam acara syukur bin nikmat di rumahnya. Kemudian
pa Dadang bersilahturahmi ke rumah pa Asep untuk maksud mengundang acara di
rumahnya hari selasa. Hubungan mereka cukup dekat satu sama lainnya. Pada hari
selasa waktu yang sama, sesungguhnya pa Asep punya rencana ingin berkunjung ke
rumah ibu mertuanya di Sumedang. Pa Dadang dan pa Asep berkomunikasi cukup hangat, karena akhir-akhir ini
mereka jarang bertemu. Gerak-gerik (gestur) pa Asep dengan bahasa tubuhnya
tampak kebingungan, sepertinya ia sulit mengatakan tidak bisa. Pa Asep berjuang
keras untuk mengatakan tidak bisa, apalagi
menolaknya. Pa Asep sesungguhnya juga ingin memenuhi undangan pa Dadang,
tetangganya satu RT itu. Wal hasil
sampai pa Dadang permisi pulang dengan suasana
yang tetap hangat, pa
Asep tidak mengucapkan kata-kata tidak
bisa. Sulit bagi pa Asep untuk mengatakan itu. Inilah yang oleh Edward T.
Hall dikatakan sebagai Budaya Komunikasi Konteks Tinggi yang memiliki ciri-ciri
‘pithy and poetic’ (penuh makna sulit
diartikan, mengalun, melebar, menghibur, menjaga harmoni). Itulah yang dinamakan
Budaya Komunikasi Konteks Tinggi.
Pertanyaan :
Selanjutnya, bagaimana pa Asep mengambil keputusan ?
Pada hari selasa pa Asep memutuskan pergi ke Sumedang,
keputusan itu diambil setelah berkomunikasi dengan istri dan keluarganya.
Disini pa Asep memilih untuk mengikuti keputusan
kolektif yang datang dari istri dan keluarganya, dibandingkan dari dirinya
sendiri.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan undangan pa Dadang ?
Sebelum pergi ke Sumedang, pa Asep dan keluarganya
singgah ke rumah pa Dadang untuk ‘excuse’
tidak bisa menghadiri undangan,
karena harus pergi ke Sumedang. Pa Asep merasa lebih nyaman untuk mengatakan tidak bisa secara kolektif bersama
keluarganya, dibandingkan mengatakan tidak
bisa secara sendiri. Tindakan pa Asep inilah yang oleh Edward T. Hall
dinamakan ‘not being on time for
appointments’ (tidak menepati janji). Kejadian seperti ini bagi orang
Indonesia, sudah biasa bukan sesuatu
yang luar biasa.
Akan tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa
menggunakan Komunikasi Konteks Rendah (low
context Communication) pasti akan menganggap sebagai kejadian yang luar
biasa, tak terpuji dan membuatnya frustasi, terheran-heran, tidak masuk akal,
mungkin bisa marah dan anda bisa
ditegur.
Closed
System selalu sering dihubungkan dengan sistem masyarakat
tertutup, yakni suatu sistem sosial yang mempercayai bahwa pandangannya (way of life) tidak dapat diubah oleh kelompok
luar (Out-group). Disini peran
kolektif cukup tampak menonjol, dibandingkan individu. Suatu Kelompok Sosial
merupakan in-group atau bukan, tergantung
situasi sosial. Sikap yang ada yang dimiliki
oleh in-group pada umumnya didasarkan
pada simpati. Selalu memiliki perasaan dekat dengan anggota kelompoknya.
Budaya komunikasi konteks tinggi ditemukan dalam sistem sosial tertutup (closed system), seperti sistem sosial
masyarakat Indonesia.
Polychronic
time, yakni lawan dari monochronic time sbb: Kurang bisa
menghargai waktu, sering tidak tepat waktu kalau memberikan janji, dan kurang
memiliki disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan atau yang sering kita dengar
dengan istilah suka ngaret.
Budaya Komunikasi Konteks Rendah
Low Context Culture Communication
Ciri-ciri
Komunikasi Konteks Rendah sbb: Must be longer, more elaborated, and
explicit (ciri komunikasinya bisa menggambarkan atau bisa juga menjelaskan
hingga cukup tampak rinci dan panjang, dan saat itu juga disampaikan secara eksplisit).
Misalnya,
mereka pasangan suami-istri sedang istirahat tidur di malam hari dan tidurnya tampak
nyeyak. Tiba-tiba hujan deras sekali, sampai-sampai istrinya terbangun dan
langsung membangunkan suaminya sambil spontan berkata ‘bocor-bocor’. Suaminya terbangun
dan menjawab langsung, genting yang retak sudah ditambal dan diberi cat pelapis
yang berkualitas, yang memiliki kemampuan ganda, tidak seperti cat lainnya.
Sebaiknya kita tidur lagi, tak perlu khawatir ‘bocor’, cat pelapisnya
berkualitas tinggi dan dijamin tak tertembus air. Inilah yang oleh Edward T.
Hall berkomunikasi konteks rendah, ‘must
be longer, more elaborated, and explicit’.
Bisa anda
bayangkan, jika sang suami mengatakan ‘masa
sich bocor, bukannya sudah di cat’. Disini tampak bahwa sang suami tidak
memiliki kemampuan untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, atau yang oleh
Edward T. Hall kata-kata itu memiliki ciri ‘typically
short’.
Open System yang selalu dikaitkan dengan sistem masyarakat terbuka, yakni suatu sistem sosial masyarakat dimana mereka
mau menerima ide-ide baru. Disini individu dalam masyarakat memiliki peran
yang cukup menonjol, dibandingkan peran kolektif. Budaya Komunikasi Konteks
Rendah hidup di dalam sistem sosial masyarkat yang terbuka.
Monochronic time is one thing at a time, being on time for appointments, and getting the
job done by a deadline (sesuatu itu satu sesuai apa yang dipikiran saat itu, tepat waktu kalau
janji, dan menghargai waktu kerja yang dijanjikan).
Komunikasi Konteks Rendah Versus Komunikasi Konteks Tinggi
Raymond
Gozzi, Jr. (1992) mencoba mengupas studi Edward T. Hall dengan mempertanyakan sbb: Bagaimana efek yang ditimbulkan, jika sumber menggunakan Komunikasi Konteks
Rendah dalam menyampaikan pesan,
sementara Si penerima menggunakan
Komunikasi Konteks Tinggi ?
Kajian
studi Raymond Gozzi, Jr. hasilnya sungguh menakjudkan: ‘Komunikasi Konteks
Rendah mempengaruhi Komunikasi
Konteks Tinggi’, sebaliknya: ‘Komunikasi Konteks Tinggi tidak mempengaruhi Komunikasi Konteks Rendah’.
Hal ini
bisa diilustrasikan sbb: Jika orang asing seperti Amerika berkomunikasi dengan
orang Indonesia, dalam bahasa Indonesia. Pesan-pesan apa saja yang
dikomunikasikannya akan mudah dimengerti. Sebaliknya, jika orang Indonesia
berkomunikasi dengan orang Amerika, dalam bahasa Inggris. Pesan-pesan apa saja
yang dikomunikasikannya tidak mudah dimengerti.
Kajian
studi Raymond Gozzi, Jr. banyak dikembangkan
dalam Studi Media Massa, khususnya efek pesan Media. Media harus memiliki
‘konteks’ yang lebih rendah dari pemirsanya, jika tidak akan ditinggalkan.
Studi
komunikasi tentang ‘konteks tinggi dan konteks rendah’ cukup menarik
perhatian. Komunikasi Konteks Tinggi tidak selalu di dekati melalui budayanya,
demikian juga dengan Komunikasi Konteks Rendah.
Misalnya,
sama-sama orang Sunda, tidak menutup kemungkinan memiliki perbedaan ‘konteks’
satu sama lainnya, ada yang konteks
rendah dan ada yang konteks tinggi,
tetapi perbedaan itu tidak memiliki ekses
budaya yang extrem, yang dimungkinkan muncul adalah ekses situasi. Orang akan merasa nyaman dalam berkomunikasi, jika
menggunakan ‘konteks’ yang tidak jauh beda satu sama lainnya, walau terkadang perbedaan ‘konteks’ itu diinginkan dalam
komunikasi manusia.
Misalnya, hampir setiap mahasiswi menghendaki
teman kencan laki-lakinya ‘lebih pintar’ darinya. Konon ceritanya, tidak ada seorangpun
mahasiswi yang menginginkan teman kencan laki-lakinya itu ‘lebih bodoh’.
Pelabelan (labelling) kata ‘pintar dan bodoh’ ini jika kita perhatikan dan amati lebih cermat lagi,
sesungguhnya tidak memiliki kaitan dengan hal IQ. Belum pernah ada satupun pengakuan dari seorang mahasiswi yang
menghendaki teman kencan laki-lakinya itu memiliki IQ lebih tinggi darinya. Pelabelan kata ‘pintar dan bodoh’ ini
sesungguhnya berkaitan dengan Gaya Komunikasi (style of communication). Mahasiswi itu sesungguhnya (jika kita
amati dari beyond the statement,
‘pintar dan bodoh’) menghendaki teman kencan laki-lakinya memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi konteks rendah (low
context communication), bukan IQ
yang tinggi atau IPK yang bagus.
Walaupun terkadang mahasiswi juga menyukai komunikasi konteks tinggi, tetapi
tidak kental. Jika seorang mahasiswa menggunakan komunikasi konteks rendah,
maka mereka itu biasanya terakui di
lingkungannya. Jika seorang mahasiswa tidak mampu menunjukkan bahwa ia bisa
berkomunikasi konteks rendah, maka mereka itu biasanya terkecilkan di lingkungannya, apalagi dimata mahasiswi. Wanita kurang tertarik dan kurang
menghargai pada laki-laki yang tidak mampu berkomunikasi konteks rendah (low context communication), bisa-bisa
mereka itu dianggap anak kecil dan
belum dewasa.
Oleh : Prijana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar