Selasa, 08 Juli 2014

INTERAKSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL




A. Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan – hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan individu dengan individu, individu dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, maka interaksi sosial dimulai ; mereka saling menegur, berjabat tangan, dan saling berbicara. Aktivitas – aktivitas semacam itu merupakan bentuk – bentuk interaksi sosial. Bahkan bisa terjadi suatu interaksi sosial tanpa saling berbicara, tetapi bertatap muka. Interaksi sosial dapat terjadi, karena masing – masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan  perubahan perasaan yang menimbulkan kesan di dalam pikiran, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.
Soerjono Soekanto (1982) mengatakan bahwa suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi, tanpa adanya : kontak sosial dan komunikasi. Selanjutnya, kontak dapat bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila mengadakan hubungan langsung bertemu dan bertatap muka. Misalnya ; berjabat tangan, saling melempar senyum, dsb. Kontak sekunder dapat dilakukan melalui media. Misalnya ; telepon, telegraf, dsb.

B. Bentuk – bentuk Interaksi Sosial 
Kita mengenal bentuk-bentuk Interaksi Sosial dalam masyarakat sbb: pertama, kerjasama (co-operation); kedua, persaingan (competition); dan ketiga,  konflik (conflict).
B.1 Bentuk Kerjasama (Co-operation)
Charles H. Cooly (1930) dalam bukunya yang berjudul ‘Sociological Theory and Social Research’ mengatakan bahwa : kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan – kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan – kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan – kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta – fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna (Soekanto,1982).
Pandangan dari sebagian mereka yang mendalami bidang Sosiologi, akan mengatakan bahwa posisi merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Sementara pandangan lainnya, mengatakan bahwa kerjasama-lah yang merupakan bentuk interaksi yang utama. Bentuk dan pola – pola kerjasama dapat kita jumpai pada semua kelompok manusia dalam masyarakat. Kebiasaan dan sikap – sikap demikian dimulai sejak masa kanak – kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok kekerabatan. Atas dasar demikian, anak akan menggambarkan bermacam – macam pola kerjasama setelah kelak mereka menjadi dewasa. Bentuk – bentuk kerjasama tersebut dapat berkembang, apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semuanya. Juga penting adanya dukungan iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja dan balas jasa yang akan diterima. Perkembangan bentuk kerjasama ini, selanjutnya menuntut keahlian – keahlian tertentu yang diperlukan bagi mereka yang bekerjasama, agar supaya kerjasamanya dapat terlaksana dengan baik.
Dalam perspektif sosiologi, kerjasama timbul karena adanya orientasi orang – perorang terhadap kelompoknya (in-group-nya) dan kelompok lain (out-group). Kerjasama tersebut mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan – tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisionil atau institutionil telah tertanam di dalam kelompok – kelompok tersebut, dalam diri seseorang atau segolongan orang. Kerjasama tersebut dapat bersifat agresif, apabila kelompok tersebut dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan tidak puas, karena keinginan – keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi oleh adanya rintangan – rintangan yang bersumber di luar kelompok itu, kondisi ini dapat semakin tajam lagi apabila rasa kecewa itu semakin besar. Keadaan ini dapat semakin lebih tajam lagi, apabila kelompok tersebut merasa tersinggung atau dirugikan. Bahkan agresivitas bisa memuncak apabila salah satu bidang sensitivitasnya TERUSIK, misalnya; terusik unsur kebudayaannya atau terusik unsur kepercayaannya.
Terlepas dari apakah berakibat positif atau negatif, kerjasama (co-operation) sebagai salah satu bentuk interaksi sosial, merupakan Gejala Universal yang ada pada masyarakat lokal maupun masyarakat negara bangsa – bangsa.
James D. Thompson (1958) dalam karyanya yang berjudul ‘Organizational goals and environments : goal setting as an interaction process’   membagi tiga bentuk kerjasama (co-operation) ; pertama, bergaining yakni proses negoisasi mengenai pertukaran barang atau jasa. Kedua, Co-optation yakni proses penerimaan unsur – unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi. Ketiga, Coalition yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan – tujuan yang sama. Bentuk – bentuk kerjasama ini, sifatnya disengaja secara teratur dalam organisasi – organisasi pemerintahan maupun non-pemerintah.



B.2 Bentuk Kompetisi ( competition )
Dalam hubungannya dengan kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan itu yang mengarahkan dan mendorong terjadinya kompetisi. Di Amerika Serikat misalnya, terdapat pola – pola pendidikan terhadap anak – anak, pemuda – pemuda, dan mereka yang sudah dewasa, yang mengarah pada sikap – sikap, kebiasaan – kebiasaan, dan cita – cita yang lebih berbentuk kompetisi daripada yang berbentuk kerjasama.
Gillin dan Gillin dalam Soekanto (1982) memahami interaksi sosial dalam konteks yang lebih luas, yakni suatu proses sosial. Sehingga Kompetisi dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang per-orangan atau kelompok – kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang – bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik, dengan cara usaha – usaha menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman ataupun kekerasan.
Kompetisi memiliki dua tipe umum, yakni pertama, tipe Kompetisi yang  bersifat pribadi; kedua, Tipe Kompetisi yang tidak bersifat pribadi. Tipe Kompetisi yang bersifat pribadi, yakni orang – perorangan yang secara langsung bersaing atau berkompetisi, misalnya; memperoleh kedudukan dalam organisasi, atau tipe yang demikian tersebut lebih dikenal dengan sebutan Rival-ry.  Tipe Kompetisi yang tidak bersifat pribadi, dapat kita temui pada bidang – bidang kehidupan sbb :
1)             Kompetisi di bidang ekonomi ; persaingan di bidang ekonomi timbul, karena terbatasnya suplai dibandingkan permintaan. Dalam Teori Ekonomi Klasik, kompetisi bertujuan untuk mengatur produksi dan distribusi barang. Kompetisi merupakan cara untuk memilih produsen yang terbaik. Barangkali bagi masyarakat, kompetisi tersebut dianggap menguntungkan. Hal ini dianggap produsen – produsen yang terbaik memenangkan persaingannya dengan cara memproduksi barang atau jasa yang lebih baik mutunya dengan harga yang rendah. KENYATAANNYA : Hal itu tidaklah demikian, kemungkinan besar untuk mempertahankan kehidupan bersama meski diadakan kerjasama, persaingan seringkali hanya menambah biaya dan membuang – buang tenaga saja.

2)Persaingan bidang kebudayaan ; misalnya penghukuman terhadap para Narapidana. Sebelumnya dianut pendapat bahwa mereka harus di hukum atas dasar pembalasan yang setimpal terhadap segala perbuatannya yang menyimpang dari norma masyarakat. Cara penghukuman yang baru ; lebih di dasarkan pada usaha – usaha untuk menyadarkan mereka akan kesalahannya dan bagaimana usaha untuk mengembalikannya kepada masyarakat.
3)      Persaingan untuk mencapai kedudukan dan peranan di dalam masyarakat ; apabila seseorang dihinggapi perasaan rendah diri yang dalam bahwa kedudukan dan peranannya sangat rendah, maka dia hanya menginginkan kedudukan dan peranannya yang sederajat. Orang – orang yang mempunyai rasa rendah diri yang tebal, memiliki kecenderungan yang sangat kuat sekali dalam mengejar kedudukan dan peranannya yang sederajat dalam masyarakat, hal ini sebagai kompensasi dari rasa rendah dirinya tersebut. Kedudukan dan Peranan apa yang di kejar, tergantung daripada yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.
Dalam batas – batas tertentu, Persaingan atau Kompetisi memiliki beberapa fungsi :
1.      Persaingan dapat menyalurkan keinginan – keinginan yang bersifat kompetitif dari individu ataupun kelompok. Dalam Perspektif sosiologi, sifat manusia umumnya memiliki kesadaran; semakin banyak sesuatu yang dihargai, semakin meningkat keinginan untuk memperolehnya.

2.      Persaingan dapat juga dijadikan sebagai ALAT untuk seleksi anggota fungsional, yang akhirnya akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif, yang oleh Emile Durkheim dinamakan : The social division of labor. Seperti yang kita ketahui bersama, yakni adanya pekerja – pekerja, ahli – ahli, pemuka agama, seniman, politikus, wartawan, dsb. Yang masing – masing memiliki fungsi khusus dalam masyarakat. Apabila ada persaingan, maka masing – masing kelompok tersebut akan mencari pengikut – pengikut yang sekiranya mampu untuk memenuhi tujuannya.

B.3 Bentuk Konflik ( conflict )
Suatu proses sosial dimana orang – perorangan atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai, misalnya; ancaman ataupun cara kekerasan dinamakan Pertentangan atau konflik. Prosesnya di awali oleh adanya kesadaran akan perbedaan – perbedaan yang dipertajam, misalnya; pola - pola perilaku, unsur – unsur kebudayaan, unsur – unsur kepercayaan, bahkan bisa terjadi adanya kesadaran akan perbedaan ciri – ciri fisik badaniah. Sumber lain dari pertentangan atau konflik, yakni bentrokan kepentingan orang – perorangan atau kelompok, misalnya; kepentingan bidang sosial politik. Pertentangan atau konflik juga bisa terjadi karena perubahan – perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang menyebabkan adanya disorganisasi.
Selanjutnya ; apakah suatu konflik membawa akibat positif atau negatif ?
Dalam Perspektif Sosiologi, struktur sosial merupakan faktor yang penting dalam menentukan akibat - akibat suatu konflik, misalnya; tentang konflik nilai – nilai atau kepentingan – kepentingan. Disini salah satu faktor yang dapat membatasi akibat – akibat negatif dari suatu konflik adalah Sikap Toleransi yang sudah Institutionalized.  
Diakui juga bahwa frekuensi yang tinggi dalam interaksi sosial dapat menekan adanya konflik. Benih – benih pertentangan itu memang umumnya sudah ada dalam setiap kehidupan sosial, namun jika dibiarkan secara terus menerus tanpa hirau, maka dapat mengakibatkan adanya konflik. Jika demikian, benih – benih pertentangan tidak boleh dibiarkan terus berkembang. Hal ini tentu akan mengganggu pada keutuhan atau kekompakan kehidupan kelompok. Terkadang konflik yang timbul tidak saja bersangkut paut langsung dengan sebab-musababnya, tetapi diselimuti oleh segala perasaan yang tidak puas yang terpendam, akhirnya akan meletus. Kemudian konflik akan menjalar pada pertentangan pribadi yang dilandaskan pada perasaan. 

C. Stratifikasi Sosial
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi embrio yang dapat menumbuhkan adanya lapisan - lapisan dalam masyarakat atau yang dikenal dengan nama stratifikasi sosial.
Pada zaman Yunani Kuno seorang filosof terkenal yang bernama Aristoteles mengatakan bahwa  dalam setiap Negara Bangsa (nation state) terdapat tiga unsur ; yakni Si miskin, Si kaya dan mereka yang berada ditengah – tengah. Hal ini menunjukan bahwa orang telah mengakui adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat – tingkat.
Seorang Sosiolog bernama Pitirim A. Sorokin (1928) dalam karyanya yang berjudul : “Contemporary Sociological Theories” mengatakan bahwa lapisan – lapisan itu memiliki ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat. Selanjutnya Pitirim A. Sorokin mencoba untuk mendefinisikan : apa itu stratifikasi sosial ?  Menurut Pitirim A. Sorokin yang dimaksud dengan stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam lapisan - lapisan secara hierarkhis, yang perwujudannya terlihat adanya strata yang rendah sampai ke strata yang tinggi. Pitirim A. Sorokin juga mengatakan bahwa dasar terbentuknya strata - strata dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian Hak dan Kewajiban diantara anggota masyarakat.
Bentuk – bentuk strata dalam masyarakat berbeda – beda dan banyak sekali, akan tetapi strata - strata tersebut tetap tampak ADA, sekalipun dalam masyarakat yang Kapitalistik, Demokratis, dan Komunis. Soerjono Soekanto (1982) dalam bukunya yang berjudul : “Sosiologi suatu pengantar” mengatakan bahwa lapisan – lapisan masyarakat sudah ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Misalnya ; pada masyarakat yang taraf kebudayaannya masih sederhana, lapisan – lapisan masyarakat itu di dasarkan pada pembedaan gender, pembedaan yang memimpin dan yang dipimpin, bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat , semakin kompleks pula sistem lapisan – lapisan masyarakatnya. Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa secara prinsipil bentuk – bentuk lapisan masyarakat dapat dilihat dari tiga aspek, yakni Ekonomis, Politis, dan Kekuasaan. Ketiga bentuk ini mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi.

D. Terbentuknya Stratifikasi Sosial
Adanya Stratifikasi Sosial dalam masyarakat, bisa terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri, tetapi ada pula strata sosial dalam masyarakat yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Kepandaian, kecakapan, tingkatan umur senior – junior, sifat anggota kekerabatan, bahkan mungkin harta materi dapat membentuk stratifikasi sosial masyarakat ; yang muncul dengan sendirinya. Faktor – faktor yang dipakai untuk menentukan stratifikasi sosial ini bermacam – macam dan mungkin berbeda bagi tiap – tiap masyarakat. Misalnya ; Pada masyarakat berburu, yang dijadikan faktor alasan adalah kepandaian berburu hewan ; Pada masyarakat agraris yang dijadikan faktor alasan adalah kerabat babat (pembuka lahan). Seperti pada masyarakat Batak, Marga Tanah mempunyai kedudukan yang tinggi. Pada masyarakat Jawa, pembuka lahan mempunyai kedudukan yang tinggi. Pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Selatan, kerabat kepala masyarakat-lah yang mempunyai kedudukan tinggi.
Masyarakat terkadang sering beranggapan dan memandang bahwa kehidupan sosial manusia dengan manusia lain adalah sederajat. Demikian-lah pandangan mereka dalam kehidupan sehari – hari. Padahal dalam kenyataannya sangat-lah bertolak belakang ; Diketahui dalam kelompok – kelompok sosial  bahwa ; kehidupan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya itu berbeda ! Jika demikian dapatlah dikatakan bahwa dimana – mana dalam suatu negara berlaku sistem stratifikasi sosial. Dimana ukuran – ukuran yang dipergunakan juga bermacam – macam. Stratifikasi Sosial dalam masyarakat dapat terjadi berdasarkan ; stabilitas emosinya, pengetahuan yang dimilikinya, kemampuannya dalam ber-olahraga, warna ranbutnya, jumlah kawan – kawannya, reputasi nenek moyangnya. Pembedaan atas stratifikasi sosial demikian merupakan Gejala Universal, yang merupakan bagian dari sistem masyarakatnya. Selanjutnya Stratifikasi yang sengaja disusun biasanya terjadi dalam suatu organisasi formal, yang diatur oleh mereka yang berwenang untuk maksud dan tujuan tertentu. Chester F. Barnard dalam karyanya yang berjudul “The Functions of status system” dalam Soerjono Soekanto (1982) mengatakan bahwa: Sistem pembagian kedudukan itu pada pokoknya diperlukan secara mutlak, agar organisasi dapat bergerak secara teratur, demi mencapai tujuan yang dimaksudkan penciptanya.

E. Tipe – tipe Stratifikasi Sosial    
Terdapat dua tipe sistem stratifikasi sosial ;
Pertama, Sistem tertutup (closed social stratification) : membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya, baik ke atas maupun ke bawah. Di dalam Sistem Tertutup, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu strata sosial adalah kelahiran. Misalnya ; masyarakat India dengan sistem Kasta-nya ; masyarakat feodal dengan gelar kebangsawanannya ; Apartheid di Afrika Selatan.
Kedua, Sistem Terbuka (open social stratification) : setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk dapat naik ke strata yang lebih tinggi. Sebaliknya bagi mereka yang kurang beruntung, bisa jatuh ke strata bawah.

F. Unsur – unsur Stratifikasi Sosial  
Dalam Teori Sosiologi dikatakan bahwa Status dan Peranan menjadi unsur terpenting dalam pembentukan Stratifikasi Sosial dalam masyarakat. Demikian juga, Status dan Peranan memiliki arti yang penting dalam Sistem Sosial Masyarakat. Disini yang dimaksud dengan Sistem Sosial adalah pola – pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat, dan pengaturan tingkah laku individu – individunya. Dalam hubungan timbal balik tersebut, Status dan Peranan individu mempunyai arti penting, karena Kelanggengan Masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan – kepentingan individu.

F.1. Unsur Status 
Soerjono Soekanto (1982) mencoba untuk mendefinisikan Status atau kedudukan sbb : adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang – orang lainnya dalam kelompok tersebut atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sehubungan dengan kelompok – kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar lagi. Dalam Sosiologi, Status atau Kedudukan memiliki berbagai bentuk sebagai berikut :
Pertama, Ascribed-Status : kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan – perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Misalnya ; anak seorang bangsawan, ya bangsawan juga dipandangnya ; anak seorang Kasta Brahmana di India, ya Brahmana juga dipandangnya.
Kedua, achieved-status : kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha – usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran, tetapi bersifat terbuka tergantung kemampuan individu dalam mengejarnya. Misalnya ; menjadi Dokter, asalkan memenuhi persyaratan. Disini tidak-lah mungkin menjadi Dokter tanpa terlebih dahulu memenuhi persyaratan.
Ketiga, Assigned-status : merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned-status sering mempunyai hubungan yang erat dengan achieved-status. Misalnya ; Gelar Kesarjanaan. Gelar tersebut bisa berkembang menjadi status-symbol tanpa menghiraukan bagaimana isinya yang sesungguhnya. Banyak yang merasa malu dan minder atau kurang percaya diri, karena tidak mempunyai gelar kesarjanaan. Tetapi akhir – akhir ini perihal Gelar sudah ada yang mempertanyakan, punya gelar sarjana tidak bekerja atau menganggur dalam waktu yang cukup lama dan sudah punya keluarga lagi.
Dalam kehidupan sehari – hari di masyarakat, sesorang memiliki beberapa status sekaligus. Dalam hubungan macam – macam kedudukan itu, biasanya yang menonjol hanya satu kedudukan yang utama. Masyarakat hanya melihat pada kedudukan utama yang menonjol tersebut, dan atas dasar itu pula-lah Yang Bersangkutan ditempatkan atau dipandang dalam masyarakat.          

F.2  Unsur Peranan ( role )
Soerjono Soekanto (1982) memberikan pandangan tentang Peranan sebagai berikut : merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan Hak dan Kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia itu menjalankan suatu peranan. Jika dipahaminya seperti demikian, maka muncul pertanyaan : apa yang sesungguhnya yang membedakan antara Peranan dan Kedudukan ?
Soerjono Soekanto (1982) mengatakan : jikapun dibedakan antara Peranan dan Kedudukan, hal itu untuk Ilmu Pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Setiap orang mempunyai macam – macam peranan yang berasal dari pola – pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat ; serta kesempatan – kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Ely Chinoy (1961) dalam Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa : Peranan dapat mengatur perilaku seseorang ; juga bahwa Peranan menyebabkan seseorang pada batas – batas tertentu dapat meramalkan perbuatan – perbuatan orang lain, sehingga dengan demikian orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku dirinya dengan perilaku orang – orang sekelompoknya. Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan – hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara peranan – peranan individu – individu dalam masyarakat. Peranan – peranan tersebut juga diatur oleh Norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Terkadang ada pula pemisahan antara individu dengan peranannya. Gejala demikian bisa saja muncul, apabila Si individu merasakan dirinya tertekan. Dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peranan yang di-amanahkan oleh masyarakat. Karena itu Dia tidak melaksanakan peranannya dengan sempurna, atau bahkan menyembunyikan dirinya apabila berada dalam lingkungan sosial yang berbeda. Dalam Sosiologi, kondisi demikian itu dikenal dengan sebutan : Role-distance.


   












DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka (2005) : ‘Berkarya di Belantara Budaya : Dinamika Budaya Lokal, Partisipasi, dan Pembangunan’, Indra Prahasta, Bandung.
Koentjaraningrat (1981) : ‘Antropologi Sosial’, Dian Rakyat, Jakarta.
Koentjaraningrat (1985) : ‘Pengantar Ilmu Antropologi’, Aksara Baru, Jakarta.
Reminick, Ronald A. (1983) : ‘Theory of Ethnicity’, University Press of America.
Shibutani, Tamotsu and Kwan, Kian M. (1965) : ‘Ethnic Stratification’, The Macmillan, New York.
Soekanto, Soerjono (1982) : ‘Sosiologi Suatu Pengantar’, CV. Rajawali, Jakarta.
Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional – LIPI (1986) : ‘Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia’, LIPI, Jakarta.


Terima kasih kepada Bpk Prijana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar