A. Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan –
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan individu dengan individu,
individu dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, maka interaksi sosial
dimulai ; mereka saling menegur, berjabat tangan, dan saling berbicara.
Aktivitas – aktivitas semacam itu merupakan bentuk – bentuk interaksi sosial.
Bahkan bisa terjadi suatu interaksi sosial tanpa saling berbicara, tetapi bertatap
muka. Interaksi sosial dapat terjadi, karena masing – masing sadar akan adanya
pihak lain yang menyebabkan perubahan
perasaan yang menimbulkan kesan di dalam pikiran, yang kemudian menentukan
tindakan apa yang akan dilakukannya.
Soerjono Soekanto (1982) mengatakan
bahwa suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi, tanpa adanya : kontak
sosial dan komunikasi. Selanjutnya,
kontak dapat bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila
mengadakan hubungan langsung bertemu dan bertatap muka. Misalnya ; berjabat
tangan, saling melempar senyum, dsb. Kontak sekunder dapat dilakukan melalui
media. Misalnya ; telepon, telegraf, dsb.
B. Bentuk – bentuk Interaksi Sosial
Kita mengenal bentuk-bentuk Interaksi
Sosial dalam masyarakat sbb: pertama, kerjasama (co-operation); kedua, persaingan (competition); dan ketiga,
konflik (conflict).
B.1 Bentuk Kerjasama (Co-operation)
Charles H. Cooly (1930) dalam bukunya
yang berjudul ‘Sociological Theory and
Social Research’ mengatakan bahwa : kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan – kepentingan yang sama dan pada
saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan – kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran
akan adanya kepentingan – kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan
fakta – fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna (Soekanto,1982).
Pandangan dari
sebagian mereka yang mendalami bidang Sosiologi, akan mengatakan bahwa posisi merupakan
bentuk interaksi sosial yang pokok. Sementara pandangan lainnya, mengatakan
bahwa kerjasama-lah yang merupakan bentuk interaksi yang utama. Bentuk dan pola
– pola kerjasama dapat kita jumpai pada semua kelompok manusia dalam
masyarakat. Kebiasaan dan sikap – sikap demikian dimulai sejak masa kanak –
kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok kekerabatan. Atas dasar
demikian, anak akan menggambarkan bermacam – macam pola kerjasama setelah kelak
mereka menjadi dewasa. Bentuk – bentuk kerjasama tersebut dapat berkembang,
apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada
kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi
semuanya. Juga penting adanya
dukungan iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja dan balas jasa yang
akan diterima. Perkembangan bentuk kerjasama ini, selanjutnya menuntut keahlian
– keahlian tertentu yang diperlukan bagi mereka yang bekerjasama, agar supaya
kerjasamanya dapat terlaksana dengan baik.
Dalam
perspektif sosiologi, kerjasama timbul karena adanya orientasi orang – perorang
terhadap kelompoknya (in-group-nya)
dan kelompok lain (out-group).
Kerjasama tersebut mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar
yang mengancam atau ada tindakan – tindakan dari luar yang menyinggung
kesetiaan yang secara tradisionil atau institutionil telah tertanam di dalam
kelompok – kelompok tersebut, dalam diri seseorang atau segolongan orang. Kerjasama tersebut dapat bersifat agresif, apabila kelompok tersebut dalam jangka
waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan tidak puas, karena
keinginan – keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi oleh adanya rintangan –
rintangan yang bersumber di luar kelompok itu, kondisi ini dapat semakin tajam
lagi apabila rasa kecewa itu semakin besar. Keadaan ini dapat semakin lebih
tajam lagi, apabila kelompok tersebut merasa tersinggung atau dirugikan. Bahkan
agresivitas bisa memuncak apabila salah satu bidang sensitivitasnya TERUSIK,
misalnya; terusik unsur kebudayaannya atau terusik unsur kepercayaannya.
Terlepas dari
apakah berakibat positif atau negatif, kerjasama (co-operation) sebagai salah satu bentuk interaksi sosial, merupakan
Gejala Universal yang ada pada masyarakat lokal maupun masyarakat negara bangsa
– bangsa.
James D. Thompson
(1958) dalam karyanya yang berjudul ‘Organizational
goals and environments : goal setting as an interaction process’ membagi tiga bentuk kerjasama (co-operation) ; pertama, bergaining yakni
proses negoisasi mengenai pertukaran barang atau jasa. Kedua, Co-optation yakni proses penerimaan
unsur – unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu
organisasi. Ketiga, Coalition yakni
kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan – tujuan yang
sama. Bentuk – bentuk kerjasama ini, sifatnya disengaja secara teratur dalam
organisasi – organisasi pemerintahan maupun non-pemerintah.
B.2 Bentuk Kompetisi ( competition )
Dalam
hubungannya dengan kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan itu yang
mengarahkan dan mendorong terjadinya kompetisi. Di Amerika Serikat misalnya,
terdapat pola – pola pendidikan terhadap anak – anak, pemuda – pemuda, dan
mereka yang sudah dewasa, yang mengarah pada sikap – sikap, kebiasaan –
kebiasaan, dan cita – cita yang lebih berbentuk kompetisi daripada yang
berbentuk kerjasama.
Gillin dan
Gillin dalam Soekanto (1982) memahami interaksi sosial dalam konteks yang lebih
luas, yakni suatu proses sosial. Sehingga Kompetisi dapat diartikan sebagai
suatu proses sosial, dimana orang per-orangan atau kelompok – kelompok manusia
yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang – bidang kehidupan yang pada
suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik, dengan cara usaha – usaha
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada,
tanpa mempergunakan ancaman ataupun kekerasan.
Kompetisi memiliki dua tipe umum, yakni pertama, tipe Kompetisi yang
bersifat pribadi; kedua, Tipe Kompetisi yang tidak bersifat pribadi.
Tipe Kompetisi yang bersifat pribadi, yakni orang – perorangan yang secara
langsung bersaing atau berkompetisi, misalnya; memperoleh kedudukan dalam
organisasi, atau tipe yang demikian tersebut lebih dikenal dengan sebutan Rival-ry. Tipe Kompetisi yang tidak bersifat pribadi, dapat kita temui pada bidang – bidang
kehidupan sbb :
1)
Kompetisi di bidang ekonomi ; persaingan di bidang ekonomi
timbul, karena terbatasnya suplai dibandingkan permintaan. Dalam Teori Ekonomi
Klasik, kompetisi bertujuan untuk mengatur produksi dan distribusi barang.
Kompetisi merupakan cara untuk memilih produsen yang terbaik. Barangkali bagi
masyarakat, kompetisi tersebut dianggap menguntungkan. Hal ini dianggap
produsen – produsen yang terbaik memenangkan persaingannya dengan cara
memproduksi barang atau jasa yang lebih baik mutunya dengan harga yang rendah.
KENYATAANNYA : Hal itu tidaklah demikian, kemungkinan besar untuk
mempertahankan kehidupan bersama meski diadakan kerjasama, persaingan
seringkali hanya menambah biaya dan membuang – buang tenaga saja.
2)Persaingan bidang
kebudayaan ; misalnya penghukuman terhadap para Narapidana. Sebelumnya dianut
pendapat bahwa mereka harus di hukum atas dasar pembalasan yang setimpal
terhadap segala perbuatannya yang menyimpang dari norma masyarakat. Cara
penghukuman yang baru ; lebih di dasarkan pada usaha – usaha untuk menyadarkan
mereka akan kesalahannya dan bagaimana usaha untuk mengembalikannya kepada
masyarakat.
3)
Persaingan untuk mencapai kedudukan dan peranan di dalam
masyarakat ; apabila seseorang dihinggapi perasaan rendah diri yang dalam bahwa
kedudukan dan peranannya sangat rendah, maka dia hanya menginginkan kedudukan
dan peranannya yang sederajat. Orang – orang yang mempunyai rasa rendah diri
yang tebal, memiliki kecenderungan yang sangat kuat sekali dalam mengejar
kedudukan dan peranannya yang sederajat dalam masyarakat, hal ini sebagai kompensasi
dari rasa rendah dirinya tersebut. Kedudukan dan Peranan apa yang di kejar,
tergantung daripada yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa
tertentu.
Dalam batas – batas tertentu, Persaingan atau
Kompetisi memiliki beberapa fungsi :
1.
Persaingan dapat menyalurkan keinginan – keinginan yang
bersifat kompetitif dari individu ataupun kelompok. Dalam Perspektif sosiologi,
sifat manusia umumnya memiliki kesadaran; semakin banyak sesuatu yang dihargai,
semakin meningkat keinginan untuk memperolehnya.
2. Persaingan dapat juga
dijadikan sebagai ALAT untuk seleksi anggota fungsional, yang akhirnya akan
menghasilkan pembagian kerja yang efektif, yang oleh Emile Durkheim dinamakan :
The social division of labor. Seperti
yang kita ketahui bersama, yakni adanya pekerja – pekerja, ahli – ahli, pemuka
agama, seniman, politikus, wartawan, dsb. Yang masing – masing memiliki fungsi
khusus dalam masyarakat. Apabila ada persaingan, maka masing – masing kelompok
tersebut akan mencari pengikut – pengikut yang sekiranya mampu untuk memenuhi
tujuannya.
B.3
Bentuk Konflik ( conflict )
Suatu proses
sosial dimana orang – perorangan atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
yang disertai, misalnya; ancaman ataupun cara kekerasan dinamakan Pertentangan
atau konflik. Prosesnya di awali oleh
adanya kesadaran akan perbedaan – perbedaan yang dipertajam, misalnya; pola - pola perilaku, unsur – unsur kebudayaan, unsur –
unsur kepercayaan, bahkan bisa terjadi adanya kesadaran akan perbedaan ciri –
ciri fisik badaniah. Sumber lain dari pertentangan atau konflik, yakni
bentrokan kepentingan orang – perorangan atau kelompok, misalnya; kepentingan
bidang sosial politik. Pertentangan atau konflik juga bisa terjadi karena
perubahan – perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang menyebabkan
adanya disorganisasi.
Selanjutnya ;
apakah suatu konflik membawa akibat positif atau negatif ?
Dalam
Perspektif Sosiologi, struktur sosial merupakan faktor yang penting dalam
menentukan akibat - akibat suatu konflik, misalnya; tentang konflik nilai –
nilai atau kepentingan – kepentingan. Disini salah satu faktor yang dapat
membatasi akibat – akibat negatif dari suatu konflik adalah Sikap Toleransi
yang sudah Institutionalized.
Diakui juga
bahwa frekuensi yang tinggi dalam interaksi sosial dapat menekan adanya
konflik. Benih – benih pertentangan itu memang umumnya sudah ada dalam setiap
kehidupan sosial, namun jika dibiarkan secara terus menerus tanpa hirau, maka
dapat mengakibatkan adanya konflik. Jika demikian, benih – benih pertentangan
tidak boleh dibiarkan terus berkembang. Hal ini tentu akan mengganggu pada
keutuhan atau kekompakan kehidupan kelompok. Terkadang konflik yang timbul
tidak saja bersangkut paut langsung dengan sebab-musababnya, tetapi diselimuti
oleh segala perasaan yang tidak puas yang terpendam, akhirnya akan meletus. Kemudian konflik akan menjalar pada
pertentangan pribadi yang dilandaskan pada perasaan.
C. Stratifikasi Sosial
Selama dalam
suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti
mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi embrio yang dapat
menumbuhkan adanya lapisan - lapisan dalam masyarakat atau yang dikenal dengan
nama stratifikasi sosial.
Pada zaman
Yunani Kuno seorang filosof terkenal yang bernama Aristoteles mengatakan
bahwa dalam setiap Negara Bangsa (nation state) terdapat tiga unsur ;
yakni Si miskin, Si kaya dan mereka yang berada ditengah – tengah. Hal ini
menunjukan bahwa orang telah mengakui adanya stratifikasi sosial dalam
masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat – tingkat.
Seorang
Sosiolog bernama Pitirim A. Sorokin (1928) dalam karyanya yang berjudul : “Contemporary Sociological Theories”
mengatakan bahwa lapisan – lapisan itu memiliki ciri yang tetap dan umum dalam
setiap masyarakat. Selanjutnya Pitirim A. Sorokin mencoba untuk mendefinisikan
: apa itu stratifikasi sosial ? Menurut
Pitirim A. Sorokin yang dimaksud dengan stratifikasi sosial adalah pembedaan
masyarakat ke dalam lapisan - lapisan secara hierarkhis, yang perwujudannya terlihat adanya strata yang rendah
sampai ke strata yang tinggi. Pitirim A. Sorokin juga mengatakan bahwa dasar
terbentuknya strata - strata dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian Hak dan Kewajiban diantara anggota masyarakat.
Bentuk – bentuk
strata dalam masyarakat berbeda – beda dan banyak sekali, akan tetapi strata -
strata tersebut tetap tampak ADA, sekalipun dalam masyarakat yang Kapitalistik,
Demokratis, dan Komunis. Soerjono Soekanto (1982) dalam bukunya yang berjudul :
“Sosiologi suatu pengantar” mengatakan
bahwa lapisan – lapisan masyarakat sudah ada sejak manusia mengenal adanya
kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Misalnya ; pada masyarakat yang
taraf kebudayaannya masih sederhana, lapisan – lapisan masyarakat itu di
dasarkan pada pembedaan gender, pembedaan yang memimpin dan yang dipimpin,
bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya
perkembangan teknologi suatu masyarakat , semakin kompleks pula sistem lapisan
– lapisan masyarakatnya. Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa secara prinsipil bentuk – bentuk lapisan
masyarakat dapat dilihat dari tiga aspek, yakni Ekonomis, Politis, dan
Kekuasaan. Ketiga bentuk ini mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya
dan saling mempengaruhi.
D. Terbentuknya Stratifikasi Sosial
Adanya
Stratifikasi Sosial dalam masyarakat, bisa terjadi dengan sendirinya dalam
proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri, tetapi ada pula strata sosial dalam
masyarakat yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.
Kepandaian, kecakapan, tingkatan umur senior – junior, sifat anggota
kekerabatan, bahkan mungkin harta materi dapat membentuk stratifikasi sosial
masyarakat ; yang muncul dengan sendirinya. Faktor – faktor yang dipakai untuk
menentukan stratifikasi sosial ini bermacam – macam dan mungkin berbeda bagi
tiap – tiap masyarakat. Misalnya ; Pada masyarakat berburu, yang dijadikan
faktor alasan adalah kepandaian berburu hewan ; Pada masyarakat agraris yang
dijadikan faktor alasan adalah kerabat babat (pembuka lahan). Seperti pada masyarakat Batak, Marga
Tanah mempunyai kedudukan yang
tinggi. Pada masyarakat Jawa, pembuka lahan mempunyai kedudukan yang tinggi.
Pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Selatan, kerabat kepala masyarakat-lah yang
mempunyai kedudukan tinggi.
Masyarakat
terkadang sering beranggapan dan memandang bahwa kehidupan sosial manusia
dengan manusia lain adalah sederajat. Demikian-lah pandangan mereka dalam
kehidupan sehari – hari. Padahal dalam kenyataannya sangat-lah bertolak
belakang ; Diketahui dalam kelompok – kelompok sosial bahwa ; kehidupan manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya itu berbeda ! Jika demikian dapatlah dikatakan bahwa dimana – mana dalam suatu negara berlaku
sistem stratifikasi sosial. Dimana ukuran – ukuran yang dipergunakan juga
bermacam – macam. Stratifikasi Sosial dalam masyarakat dapat terjadi
berdasarkan ; stabilitas emosinya, pengetahuan yang dimilikinya, kemampuannya
dalam ber-olahraga, warna ranbutnya, jumlah kawan – kawannya, reputasi nenek
moyangnya. Pembedaan atas stratifikasi sosial demikian merupakan Gejala
Universal, yang merupakan bagian dari sistem masyarakatnya. Selanjutnya
Stratifikasi yang sengaja disusun biasanya terjadi dalam suatu organisasi
formal, yang diatur oleh mereka yang berwenang untuk maksud dan tujuan
tertentu. Chester F. Barnard dalam karyanya yang berjudul “The Functions of status system” dalam Soerjono Soekanto (1982)
mengatakan bahwa: Sistem pembagian kedudukan itu pada pokoknya diperlukan
secara mutlak, agar organisasi dapat bergerak secara teratur, demi mencapai
tujuan yang dimaksudkan penciptanya.
Terdapat dua tipe sistem stratifikasi
sosial ;
Pertama, Sistem tertutup (closed social stratification) :
membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya,
baik ke atas maupun ke bawah. Di dalam Sistem
Tertutup, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu strata
sosial adalah kelahiran. Misalnya ;
masyarakat India dengan sistem Kasta-nya ; masyarakat feodal dengan gelar
kebangsawanannya ; Apartheid di
Afrika Selatan.
Kedua, Sistem Terbuka (open social stratification) : setiap
anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri
untuk dapat naik ke strata yang lebih tinggi. Sebaliknya bagi mereka yang
kurang beruntung, bisa jatuh ke strata bawah.
F. Unsur – unsur Stratifikasi Sosial
Dalam Teori
Sosiologi dikatakan bahwa Status dan Peranan menjadi unsur terpenting dalam
pembentukan Stratifikasi Sosial dalam
masyarakat. Demikian juga, Status dan Peranan memiliki arti yang penting dalam
Sistem Sosial Masyarakat. Disini yang dimaksud dengan Sistem Sosial adalah pola
– pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu dengan individu,
antara individu dengan masyarakat, dan pengaturan tingkah laku individu –
individunya. Dalam hubungan timbal balik tersebut, Status dan Peranan individu
mempunyai arti penting, karena Kelanggengan Masyarakat tergantung daripada
keseimbangan kepentingan – kepentingan individu.
F.1. Unsur Status
Soerjono
Soekanto (1982) mencoba untuk mendefinisikan Status atau kedudukan sbb : adalah
posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang – orang
lainnya dalam kelompok tersebut atau posisi seseorang dalam suatu kelompok
sehubungan dengan kelompok – kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih
besar lagi. Dalam Sosiologi, Status atau
Kedudukan memiliki berbagai bentuk sebagai berikut :
Pertama, Ascribed-Status : kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan – perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut
diperoleh karena kelahiran. Misalnya ; anak seorang bangsawan, ya bangsawan
juga dipandangnya ; anak seorang Kasta Brahmana di India, ya Brahmana juga
dipandangnya.
Kedua, achieved-status : kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha – usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar
kelahiran, tetapi bersifat terbuka tergantung kemampuan individu dalam
mengejarnya. Misalnya ; menjadi Dokter, asalkan memenuhi persyaratan. Disini
tidak-lah mungkin menjadi Dokter tanpa terlebih dahulu memenuhi persyaratan.
Ketiga, Assigned-status : merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned-status sering mempunyai
hubungan yang erat dengan achieved-status.
Misalnya ; Gelar Kesarjanaan. Gelar tersebut bisa berkembang menjadi status-symbol tanpa menghiraukan bagaimana isinya
yang sesungguhnya. Banyak yang merasa malu dan minder atau kurang percaya diri,
karena tidak mempunyai gelar kesarjanaan. Tetapi akhir – akhir ini perihal Gelar
sudah ada yang mempertanyakan, punya gelar sarjana tidak bekerja atau
menganggur dalam waktu yang cukup lama dan sudah punya keluarga lagi.
Dalam kehidupan
sehari – hari di masyarakat, sesorang memiliki beberapa status sekaligus. Dalam
hubungan macam – macam kedudukan itu, biasanya yang menonjol hanya satu
kedudukan yang utama. Masyarakat hanya melihat pada kedudukan utama yang
menonjol tersebut, dan atas dasar itu pula-lah Yang Bersangkutan ditempatkan atau dipandang dalam
masyarakat.
F.2 Unsur
Peranan ( role )
Soerjono
Soekanto (1982) memberikan pandangan tentang Peranan sebagai berikut : merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan
Hak dan Kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia itu menjalankan suatu
peranan. Jika dipahaminya seperti demikian, maka muncul pertanyaan : apa yang
sesungguhnya yang membedakan antara Peranan dan Kedudukan ?
Soerjono
Soekanto (1982) mengatakan : jikapun dibedakan antara Peranan dan Kedudukan,
hal itu untuk Ilmu Pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Setiap orang mempunyai macam – macam peranan yang berasal dari
pola – pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan
tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat ; serta kesempatan –
kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Ely Chinoy (1961)
dalam Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa : Peranan dapat mengatur perilaku
seseorang ; juga bahwa Peranan menyebabkan seseorang pada batas – batas
tertentu dapat meramalkan perbuatan – perbuatan orang lain, sehingga dengan
demikian orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku dirinya
dengan perilaku orang – orang sekelompoknya. Selanjutnya dikatakan bahwa
hubungan – hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara
peranan – peranan individu – individu dalam masyarakat. Peranan – peranan
tersebut juga diatur oleh Norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Terkadang
ada pula pemisahan antara individu dengan peranannya. Gejala demikian bisa saja muncul, apabila Si individu merasakan
dirinya tertekan. Dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peranan
yang di-amanahkan oleh masyarakat. Karena itu Dia tidak melaksanakan peranannya
dengan sempurna, atau bahkan menyembunyikan dirinya apabila berada dalam
lingkungan sosial yang berbeda. Dalam Sosiologi, kondisi demikian itu dikenal
dengan sebutan : Role-distance.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka (2005) : ‘Berkarya di Belantara
Budaya : Dinamika Budaya Lokal, Partisipasi, dan Pembangunan’, Indra Prahasta,
Bandung.
Koentjaraningrat (1981) : ‘Antropologi Sosial’, Dian
Rakyat, Jakarta.
Koentjaraningrat (1985) : ‘Pengantar Ilmu
Antropologi’, Aksara Baru, Jakarta.
Reminick, Ronald A. (1983) : ‘Theory of Ethnicity’, University Press of America.
Shibutani, Tamotsu and Kwan, Kian M. (1965) : ‘Ethnic Stratification’, The Macmillan,
New York.
Soekanto, Soerjono (1982) : ‘Sosiologi Suatu
Pengantar’, CV. Rajawali, Jakarta.
Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional – LIPI (1986)
: ‘Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia’, LIPI, Jakarta.
Terima kasih kepada Bpk Prijana
Terima kasih kepada Bpk Prijana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar