Interaksi dan Stratifikasi Sosial
Perpustakaan dan Masyarakat
Perubahan Sosial
Selasa, 08 Juli 2014
PERPUSTAKAAN DAN MASYARAKAT
PERPUSTAKAAN
DAN MASYARAKAT
Suatu Kajian Struktural Fungsional
A. Latar Belakang
Keberadaan
Perpustakaan ditengah-tengah Masyarakat secara ideal berperan sebagai agen
pengubah (agent of change), yakni
sebagai pengubah kepada hal yang lebih baik. Inilah tantangan bagi para
pemerhati Ilmu Informasi dan Perpustakaan untuk secara optimal memposisikan
keberadaan perpustakaan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu pengetahuan
tentang Aspek Sosial Masyarakat amatlah penting untuk mewujudkan
gagasan-gagasan baru yang memilki nilai produktif bagi masyarakat. Bukan
sebaliknya, keberadaan Perpustakaan hanya dilihat sebelah mata yang terkadang
hanya sebagai penghias kota.
Mengembangkan
pengetahuan tentang aspek sosial masyarakat merupakan kebutuhan nyata akan hal
pentingnya peran pengembangan perpustakaan ke-depan. Perpustakaan tidak lagi
berperan secara pasif, hanya menunggu user
dan tidak menyentuh pada pengembangan masyarakat secara pro-aktif. Jika
tidak melakukan perubahan, tidak menutup kemungkinan berkembangnya perpustakaan
sebagai Institusi yang memiliki SDM, aset, dan teknologi modern
akan dipandang sebagai Mercusuar.
B. Perkembangan Masyarakat dan
Karakteristik Komunitas.
Mengenal
masyarakat berarti mengetahui karakteristik sosial dan wilayah geografisnya.
Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan, menurut sejarah perkembangan masyarakat
itu sendiri. Awal mula adanya masyarakat, kita mengenal adanya kesatuan
sosial yang disebut Kesatuan Hidup
Setempat. Kesatuan ini tidak pertama-tama ada karena ikatan kekerabatan,
tetapi karena adanya ikatan tempat kehidupan.
Kesatuan hidup
setempat ini selalu menempati suatu wilayah tertentu di muka bumi. Karena itu,
jika anggota dari suatu Kesatuan Hidup mulai memencar ke berbagai wilayah yang
jauh terpisah-pisah, maka Ikatan terpenting dari kesatuan itu akan hilang.
Disini dapat kita
lihat bahwa wilayah merupakan syarat adanya kesatuan hidup. Akan tetapi syarat
ini akan diikuti oleh syarat-syarat lainnya yakni merasa terikat oleh perasaan
bangga dan cinta kepada wilayahnya, sehingga anggota merasa rindu walau berada
di wilayah lain. Kesatuan hidup setempat ini dinamakan Komunitas (Community).
Sebagai suatu
kesatuan hidup, komunitas juga mempunyai perasaan kesatuan yang kuat sehingga
rasa kesatuan itu menjadi sentimen persatuan dan ada kalanya memiliki ciri-ciri
khas komunitas yang berbeda dengan yang lain. Ciri dan sifat dari komunitas
tersebut adalah wilayah dan perasaan cinta wilayah yang merupakan dasar dari nasionalisme. Selanjutnya pengenalan
terhadap komunitas dapat disederhanakan menjadi komunitas modern –
tradisional, seperti negara, propinsi, kota/kabupaten,
kelurahan/desa, dan komunitas spesifik.
C. Komunitas Modern danTradisional
Kajian–kajian
tentang Komunitas banyak dilakukan oleh para Sosiolog. Mereka mengkaji tentang
hal-hal sbb:
Pertama, manusia perkotaaan melalui
pendekatan – pendekatan hubungan antar manusia dengan manusia lain.
Kedua, tentang reaksi yang ditimbulkan pasca hubungan antar manusia.
Ketiga, mengungkap naluri dasar manusia secara spesifik.
Hal penting untuk diketahui dari hasil kajian ilmiah, yang mengatakan bahwa ‘manusia memiliki naluri untuk selalu hidup
dengan orang lain’. Naluri ini dalam kehidupan sosialnya sulit untuk
dihindari, sebagaimana yang terjadi pada makhluk-makhluk hidup lainnya.
Sehingga manusia juga dikatakan sebagai social animal, makhluk yang selalu hidup bersama.
Dalam perkembangannya
manusia dapat dibedakan dengan makhluk hidup lainnya, karena manusia memiliki
kemampuan berpikir (yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya). Sehingga
manusia tidak hanya memiliki keinginan hidup bersama saja, melainkan juga
berkomunikasi. Sehingga ‘naluri dasar
manusia yang terbentuk menjadi hidup bersama dan berkomunikasi’. Dengan
aktivitas demikian manusia mendapatkan kepuasan jiwanya. Dorongan kuat atau
naluri yang terpresentasikan pada hubungan manusia dengan manusia lainnya
dinamakan Gregariousness.
Dalam memberikan reaksi atas hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia
cenderung memberikan keserasian atas
tindakan orang lain. Naluri keserasian manusia sudah tampak sejak manusia
dilahirkan. Sejak manusia dilahirkan sudah mempunyai hasrat sbb:
1. keinginan untuk menjadi satu
dengan masyarakat.
2. keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut,
manusia mempergunakan Pikiran, Perasaan,
dan Kehendak. Untuk menghadapi alam sekelilingnya; cuaca yang dingin dan
alam yang kejam, manusia menciptakan rumah dan pakaian. Manusia juga harus
makan, untuk itu manusia dapat mengambil makanan sebagai hasil dari alam
sekelilingnya. Misalnya, di laut manusia menangkap ikan, di hutan manusia
berburu binatang. Aktivitas-aktivitas demikian dapat dilakukan secara
bersama-sama yang menimbulkan adanya Kelompok-kelompok Sosial (social-group) di dalam
kehidupannya. Kelompok – kelompok sosial tersebut merupakan himpunan kesatuan
manusia yang hidup bersama. Hubungan yang terjalin dalam aktivitasnya bisa
membentuk hubungan timbal – balik, tolong – menolong, dan bisa saling
pengaruh – mempengaruhi (Soekanto, 1982).
Tidak setiap himpunan manusia dapat dikatakan kelompok sosial, karena itu
ciri-ciri dan sifat dari kelompok sosial dapat diketahui sebagai berikut:
1. setiap anggota memiliki kesadaran bahwa dia merupakan bagian
dari kelompok.
2. diantara anggota memiliki hubungan timbal – balik.
3. memiliki faktor ikatan bersama dan tujuan bersama.
4. memiliki pola perilaku.
5. memiliki struktur dan kaidah.
D. Perkembangan Kelompok Sosial dan Social-experiences.
Setiap Kelompok
Sosial cenderung tidak menjadi kelompok yang statis, akan tetapi selalu
berkembang mengalami perubahan dalam aktivitas dan bentuknya. Kelompok
Sosial dapat menambahkan peralatan dan teknologi untuk dapat melaksanakan
fungsinya dalam rangka perubahan-perubahan yang dialami, atau bahkan sebaliknya
dapat mempersempit ruang lingkupnya (Soekanto, 1982).
Pandangan ini
sejalan dengan pandangan Malinowski (1961), dengan gagasan teori fungsional-nya
sbb:
‘Tidak
ada suatu unsur kebudayaan termasuk teknologi di dalamnya, yang tidak mempunyai
kegunaan atau fungsi yang cocok dalam rangka aktivitas kelompok sosialnya.
Apabila ada unsur kebudayaan/teknologi yang kehilangan kegunaannya, maka unsur
tersebut akan hilang dengan sendirinya’.
Jika Perpustakaan dalam kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat dipandang sebagai suatu unsur kebudayaan, bukan hanya dipandang sebagai suatu unsur Layanan saja, maka nilai kegunaan Perpustakaan dalam
masyarakat menempati posisi utama.
Reposisi ini
penting dan memiliki nilai strategis dalam pengembangan
perpustakaan dalam masyarakat. Agar masyarakat tidak mengabaikan kehadiran
perpustakaan di lingkungan tempat hidupnya, sebaliknya masyarakat dapat
merasakan kehadiran unsur barunya di tengah lingkungannya, maka nilai kegunaan perpustakaan menjadi suatu
pilihan.
Hampir semua
manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial, walau tidak dapat
dipungkiri terdapat anggota yang menyebar jauh tetapi pada waktu tertentu
mereka berkumpul. Sehingga setiap anggota memiliki pengalaman masing-masing.
Bila mereka berkumpul, maka terjadilah komunikasi dan tukar–menukar pengalaman
diantara mereka. Disadari atau tidak, dari aktivitas tukar–menukar pengalaman
tersebut akan berdampak pada hal perubahan, baik pemikiran maupun perilakunya.
Aktivitas tukar menukar pengalaman inilah dinamakan Social-experiences.
E. Macam – macam Kelompok Sosial.
Kelompok –
kelompok Sosial dapat digolongkan menjadi Kelompok Sosial yang teratur dan
Kelompok Sosial yang tidak teratur. Kelompok Sosial yang teratur, yakni sbb: 1)
In-group dan out-group. 2) Primary group
dan Secondary group. 3) Gemein-schaft dan Gesell-schaft. 4) Formal
group. 5) Informal group. 6) Membership group. 7) Reference Group. Kelompok Sosial yang tidak teratur, yakni
Kerumunan (crowd).
E.1. Kelompok Sosial Yang Teratur.
a. In-group
dan Out-group.
Kelompok –
kelompok sosial dengan mana individu meng-identifikasikan dirinya merupakan in-groupnya. Suatu Kelompok Sosial
merupakan in-group atau bukan,
tergantung pada situasi – situasi sosial. Out-group
diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in-group-nya, yang sering dihubungkan
dengan istilah-istilah ‘Kami atau Kita,
dan Mereka’. Sikap – sikap in-group
pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu memiliki perasaan dekat
dengan anggota kelompok. Sikap – sikap out-group selalu ditandai dengan suatu yang lain yang berwujud
suatu antipati.
Perasaan in-group dan out-group yang kuat ini dapat membentuk
sikap yang mendasari kelompok sosial yang dinamakan Ethnocentrisme, yakni suatu sikap untuk
menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan ukuran kebudayaan
sendiri. Sikap etnocentrisme ini
sulit diubah, walau dia menyadari bahwa sikapnya salah. Sikap ini tertanam kuat
pada anggotanya melalui proses yang dinamakan socialization, baik disadari ataupun tidak dalam proses socialization memuat nilai –
nilai kebudayaan. Nilai-nilai ini membentuk suatu kesatuan nilai yang
mengagregat membentuk nilai-nilai budaya baru dalam Kelompok Sosialnya. Proses
agregasi nilai-nilai budaya memiliki sifat berulang, bergerak, dan melingkar
mengikuti waktu.
Herskovits (1955) memandang bahwa suatu
kebudayaan itu Superorganic :
‘kebudayaan
tetap hidup terus dari generasi ke generasi, meskipun orang – orang yang
menjadi anggotanya senantiasa silih berganti, karena kematian dan
kelahiran’.
In-group dan out-group
dapat dijumpai di semua masyarakat, walau kepentingan-kepentingannya tidak
selalu sama satu dengan lainnya. Dalam masyarakat yang sederhana mungkin
jumlahnya tidak begitu banyak, dibandingkan dengan masyarakat yang komplek.
Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap Kelompok sosial merupakan in-group bagi anggota – anggotanya.
Konsep ini dapat dipakai terhadap Kelompok – kelompok sosial yang kecil sampai
yang besar, selama anggotanya melakukan Identifikasi
dengan kelompoknya.
Jika demikian, aktivitas sosialisasi
dalam pengembangan Perpustakaan Masyarakat menjadi suatu keharusan. Segala
sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat, yang dalam hal ini suatu Kelompok
Sosial ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki, bukan ditentukan oleh
saran–saran out-group. Inilah yang
dinamakan Cultural Determinism, yang
sering dilupakan.
b. Primary-group
dan Secondary-group.
Charles Horton Cooley (1909), dalam karyanya yang berjudul ‘Social Organization’ memandang kehidupan
Kelompok terdiri dari : Primary-group
(Kelompok Primer) dan Secondary-group
(Kelompok Sekunder).
Kelompok Primer ;
ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal diantara anggotanya, memiliki
hubungan yang erat yang terkadang bersifat
pribadi, seperti adanya faktor
simpati, dan kerjasamanya bersifat
spontan, terkadang tampak Inklusif.
Kelompok ini mempunyai makna utama dalam pelbagai arti, terutama sangat penting
bagi pembentukan atau perwujudan cita – cita sosial dari pada individu -
individu. Secara psikologis, terdapat
peleburan anggota kelompok dalam satu ikatan dengan membentuk cita – cita
bersama, sehingga tujuan dan cita – cita individu menjadi tujuan dan cita –
cita kelompok. Hubungan individu – individu bukan merupakan alat untuk mencapai tujuan,
melainkan hubungan mereka merupakan
tujuan utama. Karena itu hubungan dalam Kelompok Primer ini, terlepas bebas
dari unsur – unsur kontrak. Kedekatan
hubungan dalam Kelompok Primer ini bukan berarti tanpa kontrol, Norma dan Nilai – nilai Sosial masih
mengatur hubungan mereka. Hubungan – hubungan primer seperti ini masih banyak
kita temukan pada masyarakat – masyarakat yang sederhana, misalnya di desa –
desa.
Selanjutnya
Charles H. Cooley tidak banyak
mengupas tentang adanya Kelompok Sekunder, hanya fokus pada kajian tentang
Kelompok Primer. Walau demikian kita perlu mengetahui apa itu Kelompok Sekunder.
Kelompok Sekunder adalah
kelompok –kelompok yang besar yang terdiri dari banyak orang yang antara siapa
hubunganya tidak perlu berdasarkan kenal-mengenal secara pribadi dan sifatnya
tidak langgeng.
Tentunya kita juga
perlu tahu, mengapa Charles H. Cooley hanya
fokus pada kajian Kelompok Primer. Ternyata yang melatarbelakangi pemikirannya
adalah kegalauan Charles H. Cooley akan perkembangan masyarakat modern. Dimana
menurut Charles H. Cooley sbb:
‘hubungan
individu – individu pada masyarakat modern banyak didasari atas hubungan
kontrak’.
Jadi kajian Cooley merupakan kritik atas perkembangan
masyarakat modern. Hubungan atas dasar kontrak
ini, menurut Charles H. Cooley tentu akan menghilangkan rasa kesetiaan dan pengabdian, disamping dapat mengganggu pola perilaku yang berlaku dalam kelompok. Rasa kesetiaan dan
pengabdian tidak akan muncul dari hubungan yang dibangun atas dasar hubungan kontrak. Teori Charles H.
Cooley ini ternyata makin mempertegas Dasar pemikirannya : ’Primary-group merupakan syarat mutlak terbentuknya Secondary-group’,
bukan sebaliknya.
C. Gemein-schaft
dan Gesell-schaft
Ferdinand Tonnies
(1960) mengemukakan bahwa hubungan – hubungan antara manusia selalu bersifat Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama
dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin dan bersifat alamiah.
Gesellschaft merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang
pendek, bersifat imaginary dan memiliki struktur mekanis. Dasar
hubungan Gemeischaft yakni rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang dikodratkan,
memiliki sifat nyata dan organis. Misalnya, hubungan keluarga dan
kekerabatan. Selanjutnya dasar hubungan Gesellschaft yakni hubungan perjanjian
berdasarkan ikatan timbal-balik. Misalnya, hubungan diantara pedagang, anggota
organisasi dalam pemerintahan/swasta, dsb. Untuk menjelaskan kedua hal tersebut
diatas, Ferdinand Tonnies berupaya
untuk mencari tahu dasar-dasar yang melatarbelakangi kehidupan bersama diantara
manusia. Ferdinand Tonnies membangun
konsep yang dinamakan wesenwille dan kurwille.
Wesenwille adalah
bentuk kemauan manusia yang dikodratkan, yang timbul dari keseluruhan kehidupan
alami. Perasaan dan akal merupakan kesatuan dan kedua-duanya terikat pada
kesatuan hidup yang alami dan organis. Kurwille adalah bentuk kemauan manusia
yang dikendalikan oleh akal pikiran. Kemauan manusia memiliki tujuan yang
bersifat rasional dan unsur – unsur kehidupan lainnya hanyalah berfungsi
sebagai alat belaka. Dalam Teori Gemeinschaft-Gesellschaft dikatakan bahwa
“wesenwille selalu menimbulan Gemeinschaft, Kurwille selalu menjelmakan
Gesellschaft”. Ferdinand Tonnies tidak
hanya memandang kedua bentuk tersebut sebagai suatu bentuk yang statis, bentuk – bentuk tersebut sebagai
dasar yang mengikuti pokok – pokok perkembangan. Dalam Gemeinschaft terdapat
hubungan yang intimate, private, dan exclusive, juga terdapat common will, suatu bentuk pengertian
menyerupai understanding yang timbul
dengan sendirinya dari dalam kelompok. Apabila terjadi pertentangan antar
anggota, maka pertentangan tersebut tidak akan dapat dibatasi dalam suatu hal
saja. Hal ini disebabkan karena hubungan yang menyeluruh antara
anggota-anggotanya. Tak mungkin suatu pertentangan yang kecil dibatasi,
pertentangan akan menjalar ke bidang-bidang lainnya. Berbeda dengan
Gesellschaft, dimana terdapat public life,
artinya hubungan bersifat untuk semua orang, batas antara ‘kami dan kau’
relatif kabur. Pertentangan antar anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang
tertentu atau dapat dilokalisir.
d. Formal
Group
Formal group (Kelompok Formal) adalah kelompok – kelompok yang
mempunyai peraturan – peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan oleh
anggotanya untuk mengatur hubungan antar anggota. Sehingga anggota memiliki
kedudukan tertentu sebagaimana yang telah diatur. Disini berarti berlaku suatu
pembatasan tugas dan wewenang. Kelompok formal dapat kita temui pada masyarakat
modern maupun pada masyarakat tradisional. Pada masyarakat modern, Kelompok
formal memiliki masa periode, memiliki struktur, memiliki pengurus, memiliki
anggota, yang diikat dalam suatu himpunan yang diformalkan, bahkan memiliki
AD/ART. Demikian juga kelompok-kelompok lain yang memiliki ciri-ciri serupa
dapat dikatakan sebagai Kelompok formal.
Pada masyarakat Tradisional, kelompok
formal memiliki masa periode yang longgar, tidak seperti yang ada pada
masyarakat modern. Struktur dalam kelompok hanya sebatas diketahui, tidak
ditulis secara formal. Tetapi dapat melaksanakan fungsinya secara efektif,
semua anggota patuh dan mengikuti setiap aktivitas yang ditetapkan oleh
kelompok. Misalnya, kelompok formal yang dibangun dalam masyarakat adat. Dalam
perkembangannya terbangun tesis yang mengatakan Kelompok formal yang
dibentuk pada masyarakat tradisional lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya
dibandingkan kelompok formal yang dibentuk pada masyarakat modern. Muncul
pertanyaan mengapa demikian ?.
Untuk menjawab
fenomena demikian, barangkali kita perlu mengingat kembali Teori Cooley dan
Teori Malinowski. Mengapa fonomena ini dapat terjadi ?.
Cooley sudah memberikan gambaran
yang jelas kepada kita semua bahwa rasa kesetiaan dan pengabdian pada kelompok
tidak dapat dibangun atas hubungan kontrak.
Rasa kesetiaan dan pengabdian inilah yang mampu membangkitkan fungsi kelompok
secara efektif. Efektivitas Kelompok Formal pada masyarakat tradisional
terbangun atas kesadaran spontan. Malinowski juga dengan Teori Fungsionalnya dengan jelas memberikan gambaran kepada kita
semua bahwa unsur kebudayaan, yang dalam hal ini dibentuknya kelompok formal
pada masyarakat modern, jika kurang memiliki nilai kegunaan menurut anggota
kelompoknya, maka akan sunyi dengan sendirinya. Akhirnya kelompok formal yang
dibentuk menjadi “TUKCING”. Sehingga
efektivitas kelompok formal kurang mampu melaksanakan fungsinya secara optimal.
e. Informal
Group
Informal group (Kelompok Informal) tidak mempunyai struktur dan
organisasi yang jelas. Kelompok – kelompok ini biasanya terbentuk oleh
pertemuan yang berulang, baik disengaja maupun tidak. Kelompok informal
memiliki kepentingan dan pengalaman yang sama. Kelompok informal ini dapat
membentuk kesatuan perasaan yang sama atau kesatuan selera yang sama dalam
kelompok kecil yang efektif, yang dinamakan Clique. Kelompok ini
ditandai dengan adanya pertemuan timbal-balik diantara anggotanya, yang
bersifat ‘Antara Kita’ saja. Dalam suatu institusi yang formal, baik
pemerintahan atau swasta, kelompok informal biasanya cepat menerima isu – isu
aktual sekitar institusinya, apalagi informasi GOSIP. Informasi-informasi aktual misalnya dari hasil rapat yang
semestinya merupakan rahasia perusahaan/kantor yang hanya diketahui oleh
beberapa orang saja, bisa menjadi topik pembicaraan umum dan tidak rahasia lagi
dalam tempo yang cepat, walau hanya menggunakan ‘media warung kopi’. Kelompok informal dalam suatu institusi
jumlahnya sulit diketahui dan perilakunya inklusif. Terkadang pandangan –
pandangan kelompok informal dapat dijadikan keputusan oleh kelompok formal.
Inilah kenyataan yang ter-akui yang
dimiliki kelompok informal. Karena itu, ada individu-individu kelompok
formal yang dengan sengaja memfasilitasi kegiatan kelompok informal dengan
maksud untuk mendapatkan informasi yang benar dan aktual, maksudnya untuk
menghindari ‘ABS’.
Kelompok informal
dalam masyarakat juga ada, sifatnya spontan dan tidak langgeng. Tetapi
ada juga kelompok informal yang tampak
formal, misalnya LSM. Kelompok
ini biasanya memposisikan sebagai In-group
masyarakat. Sehingga aktifitasnya tampak merupakan aktifitas
masyarakat yang sesungguhnya, kemudiaan apa yang dirasakan oleh masyarakat,
seperti yang benar-benar dia rasakan juga. Kelompok informal ini, benar – benar
memahami pandangan Melville J. Herkovits (1955) yang mengatakan sbb :
‘Perilaku
kelompok sosial atau masyarakat dapat diubah oleh In-groupnya, bukan oleh
out-groupnya’.
f. Membership
Group.
Robert K. Merton (
1959 ) dalam bukunya yang berjudul “Sociology
To-day : Problem and Prospects”, mengatakan membership group merupakan Kelompok dimana setiap orang secara
fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Batas – batas apakah yang dipakai
untuk menentukan keanggotaan seseorang pada suatu kelompok secara fisik, tidak
dapat dilakukan secara mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh derajat interaksi di
dalam kelompok, ada kalanya seorang anggota tidak sering kumpul dalam kelompok,
walau secara resmi dia belum keluar dari kelompoknya. Karena itu muncul istilah
Nominal group member dan Peripheral group member.
Seorang anggota Nominal group member dianggap oleh
anggota lain sebagai seseorang yang masih berinteraksi dengan kelompok sosial
yang bersangkutan, akan tetapi interaksinya berkurang. Seorang anggota Peripheral group member, seolah – olah
sudah tidak berhubungan lagi dengan kelompok yang bersangkutan, sehingga
kelompok tersebut tidak mempunyai kewenangan apapun atas keanggotaan-nya.
Perbedaan derajat interaksi ini dapat menimbulkan sub-group, oleh karena biasanya anggota – anggota yang sering
berinteraksi membentuk kelompok – kelompok sendiri.
Kekhasan lainnya
dari membership group adalah non membership yakni ‘kelompok bukan anggota’ sbb:
Pertama, orang – orang bukan anggota membership group yang tidak memenuhi
syarat dan yang memenuhi syarat. Pembedaan ini penting untuk mengetahui
persyaratan apa yang diperlukan agar supaya orang – orang bukan anggota tadi
berorientasi pada norma – norma yang berlaku dalam kelompok sosial. Orang –
orang bukan anggota yang memenuhi syarat biasanya lebih mudah untuk meyesuaikan
diri dengan norma kelompok.
Kedua, sikap kelompok bukan anggota yang
berkeinginan menjadi anggota kelompok, dan sikap anggota bukan kelompok yang
bersikap masa-bodoh.
Dalam membership group juga dikenal : Kelompok Terbuka dan Kelompok Tertutup.
Hal ini berkaitan dengan persoalan apakah suatu kelompok ingin memperluas
keanggotaannya atau ingin mempertahankan bentuknya yang sudah ada. Kelompok
Terbuka misalnya suatu kelompok yang ingin mempunyai pengikut sebanyak –
banyaknya. Hal ini penting bagi Kelompok yang bersangkutan agar programnya
mendapat dukungan dari masyarakat luas. Kelompok Tertutup, biasanya ingin mempertahankan pola – pola interaksi yang sudah
ada, sehingga keanggotaannya dibatasi.
g. Reference Group.
Misalnya seorang
anggota partai politik yang menjadi anggota DPR. Republik Indonesia. Sebagai
anggota DPR dia merupakan membership
group, akan tetapi jiwa dan jalan pikirannya tetap terikat oleh
partainya. Kelompok demikian dinamakan Reference
Group. Jadi Reference group adalah kelompok sosial yang menjadikan ukuran
bagi seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya.
H.Turner dalam Soekanto (1982),
mengemukakan ada dua tipe Reference Group
sbb :
1) Normative type : yang dapat menentukan dasar –dasar kepribadian seseorang.
Bagi tipe Normatif, reference group merupakan sumber nilai bagi dirinya.
2) Comparison type : yang merupakan suatu pegangan bagi individu di dalam menilai
kepribadiannya. Bagi tipe Komparatif, reference group lebih dipakai sebagai
perbandingan untuk memberi kedudukan seseorang.
Dalam Teori
Reference Group dikatakan bahwa ikatan kelompok didasarkan kepada Hal Kepentingan. Sehingga bila terjadi
konflik antar individu dalam Kelompok Reference, yang selanjutnya menyebabkan
perpecahan diantara mereka, maka masing – masing individu yang berkonflik tidak
saling mengakui pernah menjadi satu Kelompok Reference. Jadi kesamaan norma-norma nilai dan pola perilaku
dapat dijadikan sebagai ciri-ciri mutlak dalam Kelompok Reference.
E.2. Kelompok Sosial Yang Tidak Teratur: Kerumunan
( Crowd ).
Kehadiran orang –
orang secara fisik berkumpul pada suatu tempat, berinteraksi satu sama lain dan
memiliki pusat perhatian yang sama, tidak terorganisir, tidak memiliki sistem
pelapisan sosial atau sekurang – kurangnya setara, dan merupakan suatu Kelompok
Sosial yang bersifat sementara, jika dirasa cukup kerumunan ini bubar dengan
sendirinya. Kerumunan yang dimaksud misalnya, pertemuan orang – orang pada hari
minggu di lingkungan Unpad Jatinangor, di lapangan Gasibu Bandung, di Metro
Bandung, dll. Kerumunan juga terjadi di stasiun kereta api, di terminal bus, di
pasar, di bioskop, dll.
Kerumunan dapat kita kenali menurut
karakteristiknya sbb:
Pertama, Kerumunan yang berartikulasi dengan Struktur Sosial. Misalnya, khalayak
penonton atau pendengar yang formil (formal
audiences) merupakan kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan
tujuan, tetapi sifatnya pasif. Contohnya ; kerumunan penonton bioskop,
kerumunan menghadiri khotbah agama, dsb. Kerumunan lainnya yang berartikulasi
dengan strutur sosial, yakni kelompok ekspresif yang telah direncanakan
(planned expressive group) : kerumunan yang pusat perhatiannya tidak begitu
penting, akan tetapi memiliki persamaan tujuan yang tersimpul dalam aktivitas
kerumunan tersebut, serta kepuasan yang dihasilkannya. Contohnya ; kerumunan
dalam perayaan pesta perkawinan, pesta peringatan kemerdekaan, dsb.
Kedua, Kerumunan yang bersifat sementara (casual
crowd). Misalnya, Inconvenient
Aggregations (kerumunan yang kurang meyenangkan). Contohnya ; orang
berkumpul untuk antri karcis, menunggu kereta api, menunggu bus, dsb. Casual crowd lainnya yakni, kerumunan
orang – orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowd) ; orang – orang yang bersama – sama berusaha
menyelamatkan diri dari suatu bahaya, dorongan – dorongan yang terjadi
mempertinggi rasa panik. Ada juga yang tergolong casual crowd yang berbentuk
Kerumunan penonton (spectator crowd)
yang terjadi karena orang – orang ingin melihat suatu kejadian tertentu. Contoh
; kerumunan orang yang melihat adanya korban kecelakaan lalu lintas.
Daftar Pustaka
Campbell,
T. (1981) : ‘Seven Theory of Human Society’, dalam terjemahan bahasa Indonesia,
Kanisius, Yogyakarta.
Giddens,
A. & Turner, J. (2008) : ‘Social Theory To Day’, dalam terjemahan bahasa
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harsojo,
(1984) : ‘Pengantar Antropologi’, Binacipta.
Soekanto,
Soerjono. (1982) : ‘Sosiologi: suatu pengantar’, CV. Rajawali, Jakarta.
Sutarno,
(2006) : ‘Perpustakaan dan Masyarakat’, CV. Sagung Seto, Jakarta.
Terima kasih kepada Bpk Prijana
Terima kasih kepada Bpk Prijana
INTERAKSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL
A. Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan –
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan individu dengan individu,
individu dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, maka interaksi sosial
dimulai ; mereka saling menegur, berjabat tangan, dan saling berbicara.
Aktivitas – aktivitas semacam itu merupakan bentuk – bentuk interaksi sosial.
Bahkan bisa terjadi suatu interaksi sosial tanpa saling berbicara, tetapi bertatap
muka. Interaksi sosial dapat terjadi, karena masing – masing sadar akan adanya
pihak lain yang menyebabkan perubahan
perasaan yang menimbulkan kesan di dalam pikiran, yang kemudian menentukan
tindakan apa yang akan dilakukannya.
Soerjono Soekanto (1982) mengatakan
bahwa suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi, tanpa adanya : kontak
sosial dan komunikasi. Selanjutnya,
kontak dapat bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila
mengadakan hubungan langsung bertemu dan bertatap muka. Misalnya ; berjabat
tangan, saling melempar senyum, dsb. Kontak sekunder dapat dilakukan melalui
media. Misalnya ; telepon, telegraf, dsb.
B. Bentuk – bentuk Interaksi Sosial
Kita mengenal bentuk-bentuk Interaksi
Sosial dalam masyarakat sbb: pertama, kerjasama (co-operation); kedua, persaingan (competition); dan ketiga,
konflik (conflict).
B.1 Bentuk Kerjasama (Co-operation)
Charles H. Cooly (1930) dalam bukunya
yang berjudul ‘Sociological Theory and
Social Research’ mengatakan bahwa : kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan – kepentingan yang sama dan pada
saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan – kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran
akan adanya kepentingan – kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan
fakta – fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna (Soekanto,1982).
Pandangan dari
sebagian mereka yang mendalami bidang Sosiologi, akan mengatakan bahwa posisi merupakan
bentuk interaksi sosial yang pokok. Sementara pandangan lainnya, mengatakan
bahwa kerjasama-lah yang merupakan bentuk interaksi yang utama. Bentuk dan pola
– pola kerjasama dapat kita jumpai pada semua kelompok manusia dalam
masyarakat. Kebiasaan dan sikap – sikap demikian dimulai sejak masa kanak –
kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok kekerabatan. Atas dasar
demikian, anak akan menggambarkan bermacam – macam pola kerjasama setelah kelak
mereka menjadi dewasa. Bentuk – bentuk kerjasama tersebut dapat berkembang,
apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada
kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi
semuanya. Juga penting adanya
dukungan iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja dan balas jasa yang
akan diterima. Perkembangan bentuk kerjasama ini, selanjutnya menuntut keahlian
– keahlian tertentu yang diperlukan bagi mereka yang bekerjasama, agar supaya
kerjasamanya dapat terlaksana dengan baik.
Dalam
perspektif sosiologi, kerjasama timbul karena adanya orientasi orang – perorang
terhadap kelompoknya (in-group-nya)
dan kelompok lain (out-group).
Kerjasama tersebut mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar
yang mengancam atau ada tindakan – tindakan dari luar yang menyinggung
kesetiaan yang secara tradisionil atau institutionil telah tertanam di dalam
kelompok – kelompok tersebut, dalam diri seseorang atau segolongan orang. Kerjasama tersebut dapat bersifat agresif, apabila kelompok tersebut dalam jangka
waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan tidak puas, karena
keinginan – keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi oleh adanya rintangan –
rintangan yang bersumber di luar kelompok itu, kondisi ini dapat semakin tajam
lagi apabila rasa kecewa itu semakin besar. Keadaan ini dapat semakin lebih
tajam lagi, apabila kelompok tersebut merasa tersinggung atau dirugikan. Bahkan
agresivitas bisa memuncak apabila salah satu bidang sensitivitasnya TERUSIK,
misalnya; terusik unsur kebudayaannya atau terusik unsur kepercayaannya.
Terlepas dari
apakah berakibat positif atau negatif, kerjasama (co-operation) sebagai salah satu bentuk interaksi sosial, merupakan
Gejala Universal yang ada pada masyarakat lokal maupun masyarakat negara bangsa
– bangsa.
James D. Thompson
(1958) dalam karyanya yang berjudul ‘Organizational
goals and environments : goal setting as an interaction process’ membagi tiga bentuk kerjasama (co-operation) ; pertama, bergaining yakni
proses negoisasi mengenai pertukaran barang atau jasa. Kedua, Co-optation yakni proses penerimaan
unsur – unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu
organisasi. Ketiga, Coalition yakni
kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan – tujuan yang
sama. Bentuk – bentuk kerjasama ini, sifatnya disengaja secara teratur dalam
organisasi – organisasi pemerintahan maupun non-pemerintah.
B.2 Bentuk Kompetisi ( competition )
Dalam
hubungannya dengan kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan itu yang
mengarahkan dan mendorong terjadinya kompetisi. Di Amerika Serikat misalnya,
terdapat pola – pola pendidikan terhadap anak – anak, pemuda – pemuda, dan
mereka yang sudah dewasa, yang mengarah pada sikap – sikap, kebiasaan –
kebiasaan, dan cita – cita yang lebih berbentuk kompetisi daripada yang
berbentuk kerjasama.
Gillin dan
Gillin dalam Soekanto (1982) memahami interaksi sosial dalam konteks yang lebih
luas, yakni suatu proses sosial. Sehingga Kompetisi dapat diartikan sebagai
suatu proses sosial, dimana orang per-orangan atau kelompok – kelompok manusia
yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang – bidang kehidupan yang pada
suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik, dengan cara usaha – usaha
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada,
tanpa mempergunakan ancaman ataupun kekerasan.
Kompetisi memiliki dua tipe umum, yakni pertama, tipe Kompetisi yang
bersifat pribadi; kedua, Tipe Kompetisi yang tidak bersifat pribadi.
Tipe Kompetisi yang bersifat pribadi, yakni orang – perorangan yang secara
langsung bersaing atau berkompetisi, misalnya; memperoleh kedudukan dalam
organisasi, atau tipe yang demikian tersebut lebih dikenal dengan sebutan Rival-ry. Tipe Kompetisi yang tidak bersifat pribadi, dapat kita temui pada bidang – bidang
kehidupan sbb :
1)
Kompetisi di bidang ekonomi ; persaingan di bidang ekonomi
timbul, karena terbatasnya suplai dibandingkan permintaan. Dalam Teori Ekonomi
Klasik, kompetisi bertujuan untuk mengatur produksi dan distribusi barang.
Kompetisi merupakan cara untuk memilih produsen yang terbaik. Barangkali bagi
masyarakat, kompetisi tersebut dianggap menguntungkan. Hal ini dianggap
produsen – produsen yang terbaik memenangkan persaingannya dengan cara
memproduksi barang atau jasa yang lebih baik mutunya dengan harga yang rendah.
KENYATAANNYA : Hal itu tidaklah demikian, kemungkinan besar untuk
mempertahankan kehidupan bersama meski diadakan kerjasama, persaingan
seringkali hanya menambah biaya dan membuang – buang tenaga saja.
2)Persaingan bidang
kebudayaan ; misalnya penghukuman terhadap para Narapidana. Sebelumnya dianut
pendapat bahwa mereka harus di hukum atas dasar pembalasan yang setimpal
terhadap segala perbuatannya yang menyimpang dari norma masyarakat. Cara
penghukuman yang baru ; lebih di dasarkan pada usaha – usaha untuk menyadarkan
mereka akan kesalahannya dan bagaimana usaha untuk mengembalikannya kepada
masyarakat.
3)
Persaingan untuk mencapai kedudukan dan peranan di dalam
masyarakat ; apabila seseorang dihinggapi perasaan rendah diri yang dalam bahwa
kedudukan dan peranannya sangat rendah, maka dia hanya menginginkan kedudukan
dan peranannya yang sederajat. Orang – orang yang mempunyai rasa rendah diri
yang tebal, memiliki kecenderungan yang sangat kuat sekali dalam mengejar
kedudukan dan peranannya yang sederajat dalam masyarakat, hal ini sebagai kompensasi
dari rasa rendah dirinya tersebut. Kedudukan dan Peranan apa yang di kejar,
tergantung daripada yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa
tertentu.
Dalam batas – batas tertentu, Persaingan atau
Kompetisi memiliki beberapa fungsi :
1.
Persaingan dapat menyalurkan keinginan – keinginan yang
bersifat kompetitif dari individu ataupun kelompok. Dalam Perspektif sosiologi,
sifat manusia umumnya memiliki kesadaran; semakin banyak sesuatu yang dihargai,
semakin meningkat keinginan untuk memperolehnya.
2. Persaingan dapat juga
dijadikan sebagai ALAT untuk seleksi anggota fungsional, yang akhirnya akan
menghasilkan pembagian kerja yang efektif, yang oleh Emile Durkheim dinamakan :
The social division of labor. Seperti
yang kita ketahui bersama, yakni adanya pekerja – pekerja, ahli – ahli, pemuka
agama, seniman, politikus, wartawan, dsb. Yang masing – masing memiliki fungsi
khusus dalam masyarakat. Apabila ada persaingan, maka masing – masing kelompok
tersebut akan mencari pengikut – pengikut yang sekiranya mampu untuk memenuhi
tujuannya.
B.3
Bentuk Konflik ( conflict )
Suatu proses
sosial dimana orang – perorangan atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
yang disertai, misalnya; ancaman ataupun cara kekerasan dinamakan Pertentangan
atau konflik. Prosesnya di awali oleh
adanya kesadaran akan perbedaan – perbedaan yang dipertajam, misalnya; pola - pola perilaku, unsur – unsur kebudayaan, unsur –
unsur kepercayaan, bahkan bisa terjadi adanya kesadaran akan perbedaan ciri –
ciri fisik badaniah. Sumber lain dari pertentangan atau konflik, yakni
bentrokan kepentingan orang – perorangan atau kelompok, misalnya; kepentingan
bidang sosial politik. Pertentangan atau konflik juga bisa terjadi karena
perubahan – perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang menyebabkan
adanya disorganisasi.
Selanjutnya ;
apakah suatu konflik membawa akibat positif atau negatif ?
Dalam
Perspektif Sosiologi, struktur sosial merupakan faktor yang penting dalam
menentukan akibat - akibat suatu konflik, misalnya; tentang konflik nilai –
nilai atau kepentingan – kepentingan. Disini salah satu faktor yang dapat
membatasi akibat – akibat negatif dari suatu konflik adalah Sikap Toleransi
yang sudah Institutionalized.
Diakui juga
bahwa frekuensi yang tinggi dalam interaksi sosial dapat menekan adanya
konflik. Benih – benih pertentangan itu memang umumnya sudah ada dalam setiap
kehidupan sosial, namun jika dibiarkan secara terus menerus tanpa hirau, maka
dapat mengakibatkan adanya konflik. Jika demikian, benih – benih pertentangan
tidak boleh dibiarkan terus berkembang. Hal ini tentu akan mengganggu pada
keutuhan atau kekompakan kehidupan kelompok. Terkadang konflik yang timbul
tidak saja bersangkut paut langsung dengan sebab-musababnya, tetapi diselimuti
oleh segala perasaan yang tidak puas yang terpendam, akhirnya akan meletus. Kemudian konflik akan menjalar pada
pertentangan pribadi yang dilandaskan pada perasaan.
C. Stratifikasi Sosial
Selama dalam
suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti
mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi embrio yang dapat
menumbuhkan adanya lapisan - lapisan dalam masyarakat atau yang dikenal dengan
nama stratifikasi sosial.
Pada zaman
Yunani Kuno seorang filosof terkenal yang bernama Aristoteles mengatakan
bahwa dalam setiap Negara Bangsa (nation state) terdapat tiga unsur ;
yakni Si miskin, Si kaya dan mereka yang berada ditengah – tengah. Hal ini
menunjukan bahwa orang telah mengakui adanya stratifikasi sosial dalam
masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat – tingkat.
Seorang
Sosiolog bernama Pitirim A. Sorokin (1928) dalam karyanya yang berjudul : “Contemporary Sociological Theories”
mengatakan bahwa lapisan – lapisan itu memiliki ciri yang tetap dan umum dalam
setiap masyarakat. Selanjutnya Pitirim A. Sorokin mencoba untuk mendefinisikan
: apa itu stratifikasi sosial ? Menurut
Pitirim A. Sorokin yang dimaksud dengan stratifikasi sosial adalah pembedaan
masyarakat ke dalam lapisan - lapisan secara hierarkhis, yang perwujudannya terlihat adanya strata yang rendah
sampai ke strata yang tinggi. Pitirim A. Sorokin juga mengatakan bahwa dasar
terbentuknya strata - strata dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian Hak dan Kewajiban diantara anggota masyarakat.
Bentuk – bentuk
strata dalam masyarakat berbeda – beda dan banyak sekali, akan tetapi strata -
strata tersebut tetap tampak ADA, sekalipun dalam masyarakat yang Kapitalistik,
Demokratis, dan Komunis. Soerjono Soekanto (1982) dalam bukunya yang berjudul :
“Sosiologi suatu pengantar” mengatakan
bahwa lapisan – lapisan masyarakat sudah ada sejak manusia mengenal adanya
kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Misalnya ; pada masyarakat yang
taraf kebudayaannya masih sederhana, lapisan – lapisan masyarakat itu di
dasarkan pada pembedaan gender, pembedaan yang memimpin dan yang dipimpin,
bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya
perkembangan teknologi suatu masyarakat , semakin kompleks pula sistem lapisan
– lapisan masyarakatnya. Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa secara prinsipil bentuk – bentuk lapisan
masyarakat dapat dilihat dari tiga aspek, yakni Ekonomis, Politis, dan
Kekuasaan. Ketiga bentuk ini mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya
dan saling mempengaruhi.
D. Terbentuknya Stratifikasi Sosial
Adanya
Stratifikasi Sosial dalam masyarakat, bisa terjadi dengan sendirinya dalam
proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri, tetapi ada pula strata sosial dalam
masyarakat yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.
Kepandaian, kecakapan, tingkatan umur senior – junior, sifat anggota
kekerabatan, bahkan mungkin harta materi dapat membentuk stratifikasi sosial
masyarakat ; yang muncul dengan sendirinya. Faktor – faktor yang dipakai untuk
menentukan stratifikasi sosial ini bermacam – macam dan mungkin berbeda bagi
tiap – tiap masyarakat. Misalnya ; Pada masyarakat berburu, yang dijadikan
faktor alasan adalah kepandaian berburu hewan ; Pada masyarakat agraris yang
dijadikan faktor alasan adalah kerabat babat (pembuka lahan). Seperti pada masyarakat Batak, Marga
Tanah mempunyai kedudukan yang
tinggi. Pada masyarakat Jawa, pembuka lahan mempunyai kedudukan yang tinggi.
Pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Selatan, kerabat kepala masyarakat-lah yang
mempunyai kedudukan tinggi.
Masyarakat
terkadang sering beranggapan dan memandang bahwa kehidupan sosial manusia
dengan manusia lain adalah sederajat. Demikian-lah pandangan mereka dalam
kehidupan sehari – hari. Padahal dalam kenyataannya sangat-lah bertolak
belakang ; Diketahui dalam kelompok – kelompok sosial bahwa ; kehidupan manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya itu berbeda ! Jika demikian dapatlah dikatakan bahwa dimana – mana dalam suatu negara berlaku
sistem stratifikasi sosial. Dimana ukuran – ukuran yang dipergunakan juga
bermacam – macam. Stratifikasi Sosial dalam masyarakat dapat terjadi
berdasarkan ; stabilitas emosinya, pengetahuan yang dimilikinya, kemampuannya
dalam ber-olahraga, warna ranbutnya, jumlah kawan – kawannya, reputasi nenek
moyangnya. Pembedaan atas stratifikasi sosial demikian merupakan Gejala
Universal, yang merupakan bagian dari sistem masyarakatnya. Selanjutnya
Stratifikasi yang sengaja disusun biasanya terjadi dalam suatu organisasi
formal, yang diatur oleh mereka yang berwenang untuk maksud dan tujuan
tertentu. Chester F. Barnard dalam karyanya yang berjudul “The Functions of status system” dalam Soerjono Soekanto (1982)
mengatakan bahwa: Sistem pembagian kedudukan itu pada pokoknya diperlukan
secara mutlak, agar organisasi dapat bergerak secara teratur, demi mencapai
tujuan yang dimaksudkan penciptanya.
Terdapat dua tipe sistem stratifikasi
sosial ;
Pertama, Sistem tertutup (closed social stratification) :
membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya,
baik ke atas maupun ke bawah. Di dalam Sistem
Tertutup, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu strata
sosial adalah kelahiran. Misalnya ;
masyarakat India dengan sistem Kasta-nya ; masyarakat feodal dengan gelar
kebangsawanannya ; Apartheid di
Afrika Selatan.
Kedua, Sistem Terbuka (open social stratification) : setiap
anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri
untuk dapat naik ke strata yang lebih tinggi. Sebaliknya bagi mereka yang
kurang beruntung, bisa jatuh ke strata bawah.
F. Unsur – unsur Stratifikasi Sosial
Dalam Teori
Sosiologi dikatakan bahwa Status dan Peranan menjadi unsur terpenting dalam
pembentukan Stratifikasi Sosial dalam
masyarakat. Demikian juga, Status dan Peranan memiliki arti yang penting dalam
Sistem Sosial Masyarakat. Disini yang dimaksud dengan Sistem Sosial adalah pola
– pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu dengan individu,
antara individu dengan masyarakat, dan pengaturan tingkah laku individu –
individunya. Dalam hubungan timbal balik tersebut, Status dan Peranan individu
mempunyai arti penting, karena Kelanggengan Masyarakat tergantung daripada
keseimbangan kepentingan – kepentingan individu.
F.1. Unsur Status
Soerjono
Soekanto (1982) mencoba untuk mendefinisikan Status atau kedudukan sbb : adalah
posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang – orang
lainnya dalam kelompok tersebut atau posisi seseorang dalam suatu kelompok
sehubungan dengan kelompok – kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih
besar lagi. Dalam Sosiologi, Status atau
Kedudukan memiliki berbagai bentuk sebagai berikut :
Pertama, Ascribed-Status : kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan – perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut
diperoleh karena kelahiran. Misalnya ; anak seorang bangsawan, ya bangsawan
juga dipandangnya ; anak seorang Kasta Brahmana di India, ya Brahmana juga
dipandangnya.
Kedua, achieved-status : kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha – usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar
kelahiran, tetapi bersifat terbuka tergantung kemampuan individu dalam
mengejarnya. Misalnya ; menjadi Dokter, asalkan memenuhi persyaratan. Disini
tidak-lah mungkin menjadi Dokter tanpa terlebih dahulu memenuhi persyaratan.
Ketiga, Assigned-status : merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned-status sering mempunyai
hubungan yang erat dengan achieved-status.
Misalnya ; Gelar Kesarjanaan. Gelar tersebut bisa berkembang menjadi status-symbol tanpa menghiraukan bagaimana isinya
yang sesungguhnya. Banyak yang merasa malu dan minder atau kurang percaya diri,
karena tidak mempunyai gelar kesarjanaan. Tetapi akhir – akhir ini perihal Gelar
sudah ada yang mempertanyakan, punya gelar sarjana tidak bekerja atau
menganggur dalam waktu yang cukup lama dan sudah punya keluarga lagi.
Dalam kehidupan
sehari – hari di masyarakat, sesorang memiliki beberapa status sekaligus. Dalam
hubungan macam – macam kedudukan itu, biasanya yang menonjol hanya satu
kedudukan yang utama. Masyarakat hanya melihat pada kedudukan utama yang
menonjol tersebut, dan atas dasar itu pula-lah Yang Bersangkutan ditempatkan atau dipandang dalam
masyarakat.
F.2 Unsur
Peranan ( role )
Soerjono
Soekanto (1982) memberikan pandangan tentang Peranan sebagai berikut : merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan
Hak dan Kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia itu menjalankan suatu
peranan. Jika dipahaminya seperti demikian, maka muncul pertanyaan : apa yang
sesungguhnya yang membedakan antara Peranan dan Kedudukan ?
Soerjono
Soekanto (1982) mengatakan : jikapun dibedakan antara Peranan dan Kedudukan,
hal itu untuk Ilmu Pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Setiap orang mempunyai macam – macam peranan yang berasal dari
pola – pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan
tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat ; serta kesempatan –
kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Ely Chinoy (1961)
dalam Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa : Peranan dapat mengatur perilaku
seseorang ; juga bahwa Peranan menyebabkan seseorang pada batas – batas
tertentu dapat meramalkan perbuatan – perbuatan orang lain, sehingga dengan
demikian orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku dirinya
dengan perilaku orang – orang sekelompoknya. Selanjutnya dikatakan bahwa
hubungan – hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara
peranan – peranan individu – individu dalam masyarakat. Peranan – peranan
tersebut juga diatur oleh Norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Terkadang
ada pula pemisahan antara individu dengan peranannya. Gejala demikian bisa saja muncul, apabila Si individu merasakan
dirinya tertekan. Dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peranan
yang di-amanahkan oleh masyarakat. Karena itu Dia tidak melaksanakan peranannya
dengan sempurna, atau bahkan menyembunyikan dirinya apabila berada dalam
lingkungan sosial yang berbeda. Dalam Sosiologi, kondisi demikian itu dikenal
dengan sebutan : Role-distance.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka (2005) : ‘Berkarya di Belantara
Budaya : Dinamika Budaya Lokal, Partisipasi, dan Pembangunan’, Indra Prahasta,
Bandung.
Koentjaraningrat (1981) : ‘Antropologi Sosial’, Dian
Rakyat, Jakarta.
Koentjaraningrat (1985) : ‘Pengantar Ilmu
Antropologi’, Aksara Baru, Jakarta.
Reminick, Ronald A. (1983) : ‘Theory of Ethnicity’, University Press of America.
Shibutani, Tamotsu and Kwan, Kian M. (1965) : ‘Ethnic Stratification’, The Macmillan,
New York.
Soekanto, Soerjono (1982) : ‘Sosiologi Suatu
Pengantar’, CV. Rajawali, Jakarta.
Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional – LIPI (1986)
: ‘Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia’, LIPI, Jakarta.
Terima kasih kepada Bpk Prijana
Terima kasih kepada Bpk Prijana
Langganan:
Postingan (Atom)