Kamis, 19 September 2013

Komunikasi dan Interaksi Simbolik

 

George Herbert Mead (1934) dan Herbert Blumer (1969) adalah tokoh yang mengembangkan Komunikasi dalam Perspektif Interaksional. Karya buku mereka berjudul : ‘Mind, Self, and Society’.

Mereka sangat mengagumi kemampuan yang dimiliki makhluk yang bernama manusia, dalam menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dunia. Mereka mengatakan bahwa manusia itu  hekekatnya bertindak berdasarkan makna simbolik, bukan stimulus respon.  

Mead (1934) & Blumer (1969) mengembangkan Komunikasi dalam Perspektif Interaksional dengan beberapa  konseptualisasinya sbb:

Pertama, yakni tentang konsep dasar  I and Me atau yang lebih dikenal dengan konsep diri (self-concept). Disini I and Me diterjemahkan sebagai konsep Saya dan Aku . Konsep saya dan aku itu ada di dalam diri individu, bukan diantara individu.

Mead (1934) & Blumer (1969) mamandang bahwa individu itu bertindak sebagai subjek (saya) dan objek (aku) sekaligus atau dualisme.

‘jika saya bicara, aku mendengar’.
‘jika saya melihat, aku tahu’.
‘jika saya memukul, aku merasakan’.


Bagi Mead & Blumer dualisme saya dan aku  tidak mencerminkan struktur tetapi merupakan proses, jadi tidak memiliki arti apa-apa. Individu tidak menyaring pengalaman melalui konsep yang diperolehnya. Ia bertindak atas dasar pengalaman dan pengorganisasian tindakan di masa silam, masa sekarang, masa akan datang atas dasar  penafsirannya pada pengalaman itu. Perilaku yang sesungguhnya itu bukanlah sekedar respon, tetapi lebih merupakan faset dari proses penafsiran pada penunjukan diri dimana individu membentuk pengalaman diri dan bukan memberikan respon pada kekuatan, baik yang dari dalam ataupun dari luar organisme. Interaksionisme tidak memandang individu sebagai makhluk yang unik, melainkan sebagai makhluk sosial.

Kedua, yakni tentang konsepsi simbol atau hakekat simbol ? George Herbert Mead (1934) membedakan interaksi isyarat dan simbol. Sementara Hebert  Blumer (1969) membedakan interaksi non-simbol dan simbol. Jadi disini baik Mead maupun Blumer sama-sama membedakannya.

Isyarat atau non-simbol itu merupakan tindakan impulsif dan bersifat spontan atau refleks. Misalnya; jemari tangan menyentuh besi yang panas, maka seketika itu tangan akan menariknya tanpa berpikir. Tindakan inilah yang dinamakan tindakan impulsif. Sehingga disini dapat dikatakan bahwa interaksi non-simbolis itu tidak memiliki proses interpretif.

Interaksi simbolis menuntut adanya proses sosial internal di dalam diri individu, yang berupa penunjukan diri dan penafsiran. Seseorang akan memberikan responnya kepada tindakan orang lain atas dasar makna tindakan atau simbol.       

Ketiga, tentang konsepsi tindakan manusia atau hakekat tindakan manusia ? Dalam proses penunjukan diri, individu itu sendiri merupakan objek penafsiran. Pengalaman masa lalu individu dapat mempengaruhi tindakan masa sekarang dan yang akan datang. Karena adanya proses sosial internal penunjukan diri, Perspektif Interaksional memungkinkan individu untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang lain melihat padanya.

Agar menjadi objek penafsiran diri, maka diri yakni AKU ( the self ) harus meninggalkan dirinya ( self )  untuk melakukan penafsiran itu; yakni individu mengasumsikan proses penafsiran orang lain itu atau yang dikenal dengan sudut pandang, agar dapat menentukan ‘aku’. Jadi Si individu tersebut mengambil peran orang lain dan terlibat dalam penafsiran, persis seperti apa yang akan ia lakukan terhadap setiap objek, baik fisik maupun sosial.
Sebuah replika sbb: pernahkah anda mengamati anak-anak kecil bermain sekolah-sekolahan, atau bermain pasar-pasaran.

Bentuk pengambilan peran yang paling informatif adalah the generalizaed other. Bentuk ini mencerminkan umumnya masyarakat atau kultur lokal individu itu mengidentifikasikan dirinya. Manusia yang terlibat dalam interaksi diri, dengan diri sebagai objek dan penafsir aktif, keduanya dalam waktu yang bersamaan merupakan makhluk yang dinamis, yang memiliki karakteristik utamanya adalah bertindak terhadap lingkungan dan diri sendiri. Individu membentuk lingkungannya dan membangun dirinya sendiri pada waktu yang bersamaan. Jadi bukan semata-mata produk masa silam dan stimuli lingkungan di masa yang lalu.

Keempat, tentang konsepsi tindakan sosial; yang terpenting dalam konsepsi ini adalah penjelasan mengapa tindakan kolektif itu terbentuk ?

Perspektif Interaksional menolak setiap penjelasan apapun dari faktor kausalitatif. Tindakan kolektif bukanlah produk dari kekuatan lingkungan, akan tetapi secara langsung disebabkan individu-individu menyelaraskan tindakan mereka dengan tindakan orang lain.

Pandangan Mead (1934) & Blumer(1969) ini telah memberikan inspirasi terhadap beberapa Perspektif Interaksional, sehingga pendekatan ini menjadi makin menarik.

Kenneth J. Smith & Liska Belgrave (1984) berpandangan bahwa:

‘Perspektif Interaksional membuat manusia dalam masyarakat menjadi lebih nyata dan menjadikan hidup mereka menjadi makin bermakna’.
Untuk lebih memahami Perspektif Interaksional kiranya kita perlu mengamati sebuah fenomena dalam  replika sbb:

A. Replika ‘Cincin Kawin’ 
            Umumnya orang mengkaitkan cincin kawin dengan cinta dan komitmen. Cincin kawin merupakan sebuah simbol ikatan resmi dan emosional. Dimana orang selalu menghubungkan cincin kawin dengan konotasi yang positif. Orang-orang akan memberikan reaksi negatif, apabila mereka menganggap ada sesuatu sebagai situasi yang ‘merendahkan’.

            Cincin kawin itu sendiri tidak mempunyai makna yang spesifik, bila berada di etalase toko emas.  Cincin itu akan memiliki makna lebih ketika ada interaksi dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral dan memiliki nilai lebih, menjadikan hidup menjadi makin bermakna.

            ‘Misalnya, sebut saja Anita. Memiliki suami dan satu orang anak perempuan balita. Mereka hidup bahagia dan bertempat tinggal di Bogor. Suami Anita bekerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Suami Anita bernama Bram dan anak perempuannya bernama Nikita. Bram memakai cincin kawin emas, begitu juga Anita selalu memakai cincin kawin emas. Keduanya sepakat untuk memakai cincin kawin. Penyematan cincin kawin disaksikan oleh orang banyak termasuk keluarga besarnya. Baik Anita dan Bram merasakan ‘ada sesuatu yang lebih dari keberadaan cincin kawin emas’ yang mereka beli dari toko, yang sekarang berada pada jari tangan mereka. Cincin seolah berubah dari objek benda menjadi simbol yang sakral dari cinta mereka. Cincin juga menjadi simbol komitmen saling mencintai. Cincin juga menjadi simbol kepercayaan yang mengikat. Beserta simbol lain yang menyertainya, cincin seolah menjadi perekat emosi mereka. Setiap hari disadari atau tidak mereka selalu ‘memantau keberadaan cincin’ dan memastikan ada padanya. Suatu ketika Bram membersihkan cincin kawin emas di tempat kerjanya, pada waktu istirahat jam kantor. Entah mengapa Bram menaruh cincin kawin emas di dalam laci meja kerjanya dan lupa memakainya kembali. Bram tidak merasakan cincin tersebut lepas dari jari tangannya, cincin tersimpan di laci meja kerja. Bram pulang kantor seperti biasanya, pukul 20.00 wib. baru tiba di rumah. Anita melihat Bram tidak memakai cincin. Sontak Anita bertanya keberadaan cincin Bram. Bram lupa karena mungkin kelelahan kerja, dimana cincin itu berada. Bram bingung cincin ada dimana. Anita terus bertanya dan bertanya keberadan cincin. Bram tidak bisa memberikan jawaban yang menyakinkan Anita. Anita marah besar sambil menjauhi Bram dan Nikita yang mungil itupun turut menangis, kedua orang tuanya tanpa mempedulikannya. Anita menangis dan menangis yang dalam, perasaannya hancur dan galau. Amarah Anita tak terkendalikan dan memuncak lalu mulai mempertanyakan tentang cintanya. Pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri. Anita memandang Bram suaminya sudah mengkhianati’.
           
            Dari kasus ini coba kita perhatikan dengan cermat, bahwa kehadiran Bram tersuramkan oleh ketiadaan cincin kawin dijari tangannya.  Seluruh yang ada pada diri Bram luluh lantak dihadapan Anita istrinya. Kehadiran Bram dipandang sebagai ketidakhadiran.

B. Replika ‘batu liontin’         

            ‘Karya film Titanic mengisahkan fenomena Interaksional tentang komunikasi manusia sbb: mengisahkan bagaimana seorang perempuan mencintai. Cintanya seolah melekat ada pada batu liontin pemberian Sang Kekasihnya sambil declare I Love You, yang ketika itu disaksikan mayat-mayat yang berserakan di sekeliling kapal tenggelam di tengah lautan lepas. Sang kekasihnya kini telah tiada, setelah semalam berjuang keras untuk hidup melawan hempasan air laut yang dingin. Perempuan cantik itu tahu dengan jelas, bagaimana Sang kekasihnya itu terus berjuang menyelamatkan dirinya dari maut. Perempuan cantik itu selamat dari maut. Ia menjalani kehidupannya kembali di darat secara normal, walau Sang kekasihnya telah tiada. Perempuan cantik itu berkehidupan normal dan memiliki dua orang anak. Kini perempuan cantik itu sudah berusia 90 tahun dan tangannya tampak bergetar dan  berkeriput. Perempuan tua itu membisikkan sesuatu kepada anak perempuannya, tatkala anaknya bertanya kepadanya .... hendak kemana Mama ? Perempuan tua itu menjawab, engkau belum tahu, bagaimana cinta seorang perempuan. Perempuan tua itu lalu menuju ke pantai hendak menjumpai Sang Kekasihnya. Perempuan tua itu tetap setia memegang erat dan memperhatikan sudut demi sudut batu liontin pemberian Kekasihnya diiringi air mata yang tiada henti.  Perempuan tua itu tetap berdiri dan terus memandangi lautan lepas seakan hadir di hadapan Sang Kekasih. Mama, begitu sapa anaknya dengan penuh rasa hormat ....., kita sudah dua jam berada di tepi pantai, mari kita pulang ......, kata anaknya sambil mendekapnya. Badan orang tua itu terasa dingin sekali dan bergetar, namun tetap tegar’.            

Dari kasus ini coba kita perhatikan dengan cermat, bahwa batu  liontin dan declare I Love You tetap hidup bersemi dalam diri perempuan tua 90 tahun, walau tanpa kehadiran sang kekasihnya. Ketidakhadiran sang kekasih dipandang sebagai kehadiran.   

Oleh : Pak Prijana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar