George Herbert Mead (1934) dan Herbert Blumer
(1969) adalah tokoh yang mengembangkan Komunikasi dalam Perspektif
Interaksional. Karya buku mereka berjudul : ‘Mind,
Self, and Society’.
Mereka sangat mengagumi kemampuan yang
dimiliki makhluk yang bernama manusia, dalam menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan
dunia. Mereka mengatakan bahwa manusia itu hekekatnya bertindak berdasarkan makna
simbolik, bukan stimulus respon.
Mead (1934) & Blumer (1969)
mengembangkan Komunikasi dalam Perspektif Interaksional dengan beberapa konseptualisasinya sbb:
Pertama, yakni
tentang konsep dasar I and
Me atau yang lebih dikenal dengan konsep diri (self-concept). Disini I and Me diterjemahkan sebagai
konsep Saya dan Aku . Konsep saya dan aku itu
ada di dalam diri individu, bukan diantara individu.
Mead (1934) & Blumer (1969)
mamandang bahwa individu itu bertindak sebagai subjek (saya) dan objek (aku)
sekaligus atau dualisme.
‘jika saya bicara, aku
mendengar’.
‘jika saya melihat, aku
tahu’.
‘jika saya memukul, aku
merasakan’.
Bagi Mead & Blumer dualisme saya dan aku tidak mencerminkan struktur tetapi merupakan
proses, jadi tidak memiliki arti apa-apa. Individu tidak menyaring pengalaman
melalui konsep yang diperolehnya. Ia bertindak atas dasar pengalaman dan
pengorganisasian tindakan di masa silam, masa sekarang, masa akan datang atas
dasar penafsirannya pada pengalaman itu.
Perilaku yang sesungguhnya itu bukanlah sekedar respon, tetapi lebih merupakan
faset dari proses penafsiran pada penunjukan diri dimana individu membentuk
pengalaman diri dan bukan memberikan respon pada kekuatan, baik yang dari dalam
ataupun dari luar organisme. Interaksionisme tidak memandang individu sebagai
makhluk yang unik, melainkan sebagai makhluk sosial.
Kedua, yakni
tentang konsepsi simbol atau hakekat
simbol ? George Herbert Mead (1934) membedakan interaksi isyarat dan
simbol. Sementara Hebert Blumer (1969)
membedakan interaksi non-simbol dan simbol. Jadi disini baik Mead maupun Blumer
sama-sama membedakannya.
Isyarat atau non-simbol itu merupakan
tindakan impulsif dan bersifat spontan atau refleks. Misalnya; jemari tangan
menyentuh besi yang panas, maka seketika itu tangan akan menariknya tanpa
berpikir. Tindakan inilah yang dinamakan tindakan impulsif. Sehingga disini
dapat dikatakan bahwa interaksi non-simbolis itu tidak memiliki proses
interpretif.
Interaksi simbolis menuntut adanya
proses sosial internal di dalam diri individu, yang berupa penunjukan diri dan
penafsiran. Seseorang akan memberikan responnya kepada tindakan orang lain atas
dasar makna tindakan atau simbol.
Ketiga,
tentang konsepsi tindakan manusia atau hakekat tindakan manusia ? Dalam proses
penunjukan diri, individu itu sendiri merupakan objek penafsiran. Pengalaman
masa lalu individu dapat mempengaruhi tindakan masa sekarang dan yang akan
datang. Karena adanya proses sosial internal penunjukan diri, Perspektif
Interaksional memungkinkan individu untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana
orang-orang lain melihat padanya.
Agar menjadi objek penafsiran diri,
maka diri yakni AKU ( the self ) harus meninggalkan dirinya ( self )
untuk melakukan penafsiran itu; yakni individu mengasumsikan proses
penafsiran orang lain itu atau yang dikenal dengan sudut pandang, agar dapat menentukan ‘aku’. Jadi Si individu tersebut mengambil peran orang lain dan
terlibat dalam penafsiran, persis seperti apa yang akan ia lakukan terhadap setiap objek, baik fisik maupun sosial.
Sebuah replika sbb: pernahkah anda mengamati anak-anak kecil
bermain sekolah-sekolahan, atau
bermain pasar-pasaran.
Bentuk pengambilan peran yang paling
informatif adalah the generalizaed other.
Bentuk ini mencerminkan umumnya masyarakat atau kultur lokal individu itu
mengidentifikasikan dirinya. Manusia yang terlibat dalam interaksi diri, dengan
diri sebagai objek dan penafsir aktif, keduanya dalam waktu yang bersamaan
merupakan makhluk yang dinamis, yang memiliki karakteristik utamanya adalah bertindak terhadap lingkungan dan diri
sendiri. Individu membentuk lingkungannya dan membangun dirinya sendiri pada
waktu yang bersamaan. Jadi bukan semata-mata produk masa silam dan stimuli
lingkungan di masa yang lalu.
Keempat,
tentang konsepsi tindakan sosial; yang terpenting dalam konsepsi ini adalah
penjelasan mengapa tindakan kolektif itu
terbentuk ?
Perspektif Interaksional menolak setiap
penjelasan apapun dari faktor kausalitatif. Tindakan kolektif bukanlah produk
dari kekuatan lingkungan, akan tetapi secara langsung disebabkan
individu-individu menyelaraskan tindakan mereka dengan tindakan orang lain.
Pandangan Mead (1934) & Blumer(1969)
ini telah memberikan inspirasi terhadap beberapa Perspektif Interaksional,
sehingga pendekatan ini menjadi makin menarik.
Kenneth J. Smith &
Liska Belgrave
(1984) berpandangan bahwa:
‘Perspektif Interaksional membuat manusia dalam masyarakat menjadi lebih
nyata dan menjadikan hidup mereka menjadi makin bermakna’.
Untuk lebih memahami Perspektif
Interaksional kiranya kita perlu mengamati sebuah fenomena dalam replika sbb:
A. Replika ‘Cincin
Kawin’
Umumnya
orang mengkaitkan cincin kawin dengan
cinta dan komitmen. Cincin kawin merupakan sebuah simbol ikatan resmi dan
emosional. Dimana orang selalu menghubungkan cincin kawin dengan konotasi yang
positif. Orang-orang akan memberikan reaksi negatif, apabila mereka menganggap
ada sesuatu sebagai situasi yang ‘merendahkan’.
Cincin
kawin itu sendiri tidak mempunyai makna yang spesifik, bila berada di etalase toko emas. Cincin itu akan memiliki
makna lebih ketika ada interaksi dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang
sakral dan memiliki nilai lebih, menjadikan hidup menjadi makin bermakna.
‘Misalnya,
sebut saja Anita. Memiliki suami dan
satu orang anak perempuan balita. Mereka hidup bahagia dan bertempat tinggal di
Bogor. Suami Anita bekerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Suami Anita
bernama Bram dan anak perempuannya
bernama Nikita. Bram memakai cincin
kawin emas, begitu juga Anita selalu memakai cincin kawin emas. Keduanya
sepakat untuk memakai cincin kawin. Penyematan cincin kawin disaksikan oleh
orang banyak termasuk keluarga besarnya. Baik Anita dan Bram merasakan ‘ada
sesuatu yang lebih dari keberadaan cincin kawin emas’ yang mereka beli dari
toko, yang sekarang berada pada jari tangan mereka. Cincin seolah berubah dari
objek benda menjadi simbol yang sakral dari cinta mereka. Cincin juga menjadi
simbol komitmen saling mencintai. Cincin juga menjadi simbol kepercayaan yang
mengikat. Beserta simbol lain yang menyertainya, cincin seolah menjadi perekat
emosi mereka. Setiap hari disadari atau tidak mereka selalu ‘memantau
keberadaan cincin’ dan memastikan ada padanya. Suatu ketika Bram membersihkan
cincin kawin emas di tempat kerjanya, pada waktu istirahat jam kantor. Entah
mengapa Bram menaruh cincin kawin emas di dalam laci meja kerjanya dan lupa
memakainya kembali. Bram tidak merasakan cincin tersebut lepas dari jari
tangannya, cincin tersimpan di laci meja kerja. Bram pulang kantor seperti
biasanya, pukul 20.00 wib. baru tiba di rumah. Anita melihat Bram tidak memakai
cincin. Sontak Anita bertanya keberadaan cincin Bram. Bram lupa karena mungkin
kelelahan kerja, dimana cincin itu berada. Bram bingung cincin ada dimana.
Anita terus bertanya dan bertanya keberadan cincin. Bram tidak bisa memberikan
jawaban yang menyakinkan Anita. Anita marah besar sambil menjauhi Bram dan
Nikita yang mungil itupun turut menangis, kedua orang tuanya tanpa
mempedulikannya. Anita menangis dan menangis yang dalam, perasaannya hancur dan
galau. Amarah Anita tak terkendalikan dan memuncak lalu mulai mempertanyakan
tentang cintanya. Pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
Anita memandang Bram suaminya sudah mengkhianati’.
Dari
kasus ini coba kita perhatikan dengan cermat, bahwa kehadiran Bram tersuramkan
oleh ketiadaan cincin kawin dijari tangannya.
Seluruh yang ada pada diri Bram luluh lantak dihadapan Anita istrinya. Kehadiran Bram dipandang sebagai
ketidakhadiran.
B. Replika ‘batu liontin’
‘Karya
film Titanic mengisahkan fenomena Interaksional tentang komunikasi manusia sbb:
mengisahkan bagaimana seorang perempuan mencintai.
Cintanya seolah melekat ada pada batu
liontin pemberian Sang Kekasihnya sambil declare I Love You, yang
ketika itu disaksikan mayat-mayat yang berserakan di sekeliling kapal tenggelam
di tengah lautan lepas. Sang kekasihnya kini telah tiada, setelah semalam
berjuang keras untuk hidup melawan hempasan air laut yang dingin. Perempuan
cantik itu tahu dengan jelas, bagaimana Sang kekasihnya itu terus berjuang
menyelamatkan dirinya dari maut. Perempuan cantik itu selamat dari maut. Ia
menjalani kehidupannya kembali di darat secara normal, walau Sang kekasihnya
telah tiada. Perempuan cantik itu berkehidupan normal dan memiliki dua orang anak.
Kini perempuan cantik itu sudah berusia 90 tahun dan tangannya tampak bergetar
dan berkeriput. Perempuan tua itu
membisikkan sesuatu kepada anak perempuannya, tatkala anaknya bertanya
kepadanya .... hendak kemana Mama ? Perempuan tua itu menjawab, engkau
belum tahu, bagaimana cinta seorang perempuan. Perempuan tua itu lalu
menuju ke pantai hendak menjumpai Sang Kekasihnya. Perempuan tua itu tetap
setia memegang erat dan memperhatikan sudut demi sudut batu liontin pemberian Kekasihnya diiringi air mata yang tiada
henti. Perempuan tua itu tetap berdiri
dan terus memandangi lautan lepas seakan hadir di hadapan Sang Kekasih. Mama,
begitu sapa anaknya dengan penuh rasa hormat ....., kita sudah dua jam berada
di tepi pantai, mari kita pulang ......, kata anaknya sambil mendekapnya. Badan
orang tua itu terasa dingin sekali dan bergetar, namun tetap tegar’.
Dari kasus ini coba kita perhatikan
dengan cermat, bahwa batu liontin dan declare I Love You tetap
hidup bersemi dalam diri perempuan tua 90 tahun, walau tanpa kehadiran sang
kekasihnya. Ketidakhadiran sang kekasih
dipandang sebagai kehadiran.
Oleh : Pak Prijana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar